Sekumpulan bahasa pribadi.

Lalu bahasa hanyalah sekedar perantara.
Hati adalah sumber dari segalanya.
Tidak perlu dipahami, tapi butuh dirasakan.

Monday 6 September 2010

Peran Ganda


Wanita itu duduk di antara sejumlah orang-orang yang tidak dia kenal.
Hanya sebatas nama yang tadi disebutkan satu-persatu oleh mereka.
Pikirannya bertanya-tanya untuk apa sebenarnya dia ada di sana?
Kata adiknya, kelompok sharing ini bisa membantunya.

Beberapa cangkir teh tersedia di hadapan mereka.
Seseorang perempuan tua yang wanita itu ketahui sebagai ketua kelompok sharing akhirnya membuka pertemuan ini.
"Selamat malam, di luar hujan luar biasa deras, maaf saya terlambat.” Katanya sambil tersenyum ramah. Kerutan di bawah matanya tidak sebanding dengan senyum itu.
“Malam ini, ada kah cerita diantara kalian yang dapat membuka pertemuan ini untuk disharingkan?" Ketua itu melanjutkan.
Mereka semua terdiam. Tidak ada yang bicara.
Mulut mereka seperti tersumbat udara malam yang begitu dingin menusuk. 
Begitupun dengan mulut wanita itu, dia tidak cukup berani untuk menceritakan kisah sedih yang menghancurkan dirinya di depan orang-orang ini. Mana mungkin dia bisa bercerita pada orang-orang asing? Diam-diam dia yakin, tidak ada di antara mereka yang bisa membayangkan sakitnya dia.

Ketua kelompok itu berbicara lagi.
"Tujuan utama kelompok sharing ini adalah mengeluarkan cerita paling menyedihkan, agar kita tidak merasa sendirian. Tema hari ini adalah kehilangan keluarga. Adakah diantara kalian yang ingin memulai?"
Semua orang masih diam. Yang terdengar hanya suara hujan yang turun tidak sabaran.
"Baiklah, saya akan memulai" Ketua itu akhirnya menyerah.
"Dua bulan yang lalu saya baru saja kehilangan sahabat saya.
Dia terkena kanker otak lalu meninggal sambil kesakitan. Kalian tidak akan bisa menggambarkannya."
Wanita itu mulai angkat bicara.
"Bukankah pembicaraan ini mengenai kehilangan keluarga?"
Ketua itu kembali menunjukkan senyum ramahnya kemudian melanjutkan cerita.
"Kami berdua begitu dekat, dia adalah bagian dari diri saya. Kami berdua tidak dapat dipisahkan. Hanya kematian ini yang akhirnya membawa raga itu pergi dari saya, tapi di dalam hati saya dia tetap hidup.”

Sedikit keheningan kembali mengisi. Pemilik cerita itu menghela nafasnya pelan.
“Dua puluh tujuh hari, saya tidak berhenti menangis setiap malam.
Saya merasa hilang... Dan hancur. Saya berteriak-teriak sendiri pada malam hari. Kesakitan. Saya marah padanya, bisa-bisanya dia tega meninggalkan saya. Dia kesakitan sampai mati, saya kesakitan… sampai ingin mati.”

Wanita itu berkata lagi
"Kamu kehilangan sahabat sampai begitu? Tidakkah kamu kasihan pada suamimu yang melihat kamu begitu berantakan? Bagaimana kalau kamu malah kehilangan suamimu? Percayalah itu lebih sakit"
Ketua itu bertanya balik "Bagaimana kamu tau saya sudah menikah?"
"Cincin di jari manismu tidak mungkin tidak berarti apa-apa"

Ketua itu menunduk dan memperhatikan cincinnya kemudian tersenyum lagi.
"Kehilangan suami memang berat, tapi saya rasa itu hanyalah masalah status. Apa yang terjadi setelah kita kehilangan suami? Menjadi janda? Tapi tidak akan ada yang menyaingi sakitnya kehilangan sahabat, dan tidak ada status untuk itu"

Wanita itu mengerutkan dahinya.
"Kamu tidak masuk akal"
"Sejak kehilangan sahabat saya, saya tidak begitu peduli pada hal-hal yang masuk akal.”
“Kamu bisa gila, dan keluarga kamu bisa-bisa merasa berebut prioritas dengan sahabat kamu itu.”
“Tidak ada yang merasa prioritasnya diambil. Mereka tau bahwa saya pantas sedih luar biasa saat kehilangan sahabat saya.”

Wanita itu menggeleng tidak mengerti. Rasanya keputusannya untuk ikut kelompok sharing ini semakin terlihat salah.
“Justru harusnya kamu lakukan hal-hal yang tidak masuk akal. Hidup kita hanya sekali bukan? Tuhan sendiri tidak pernah menjanjikan hari esok untuk kita hidup. Saya merasa untuk terus melakukan apa yang ingin saya lakukan. Kadang tidak peduli apa kata orang lain. Kehilangan sahabat saya menyadarkan saya banyak hal. Kita sendiri tidak pernah tau tanggal kematian kita, bukankah kita harus menghargai hari yang ada?”
Beberapa orang ada yang mengangguk setuju. Wanita itu masih bertanya-tanya dalam hati. Tidak mengerti maksud dari kelompok sharing ini. Harusnya mereka membicarakan keluarga, harusnya dia bisa menyalurkan rasa sakit saat dia mengetahui suami yang baru dinikahinya 3 tahun itu sakit parah dan tidak bisa bertahan hidup untuk waktu yang lama.
“Saya ingin bertanya, kamu kehilangan siapa?" Sang ketua bertanya kepada wanita itu.
“Belum kehilangan. Tapi, suami saya sakit parah dan mungkin tidak akan bertahan lebih dari 3 minggu lagi. Dia mederita penyakit hepatitis kronis. Dokter menyebutnya Cirrhosis. Padahal saya juga tidak mengerti artinya. Yang pasti, hatinya tidak dapat bekerja dengan normal lagi dan sudah masuk dalam tahap kegagalan. Berat badannya turun drastis, perut dan kakinya bengkak. Dia tidak lagi bangun dari tempat tidurnya. Berbagai komplikasi sudah terjadi. Sesaat dia makin parah, saya seperti kehilangan nyawa sedikit-sedikit. Kata adik saya, sebelum menjadi mayat hidup, saya disuruh ikut kelompok sharing ini. Saya tidak gila, saya hanya tidak siap untuk kehilangan dia. Kami baru menjalani kehidupan bersama dalam waktu yang begitu singkat. Kamu harus percaya pada saya, rasanya sakit sekali melihat suami kita kesakitan. Kamu tidak seharusnya berantakan karena kehilangan sahabat kamu.”
“Menurut kamu, seperti apa suamimu?” Tanya sang ketua lagi.
Wanita itu terdiam, menerawang, dan perlahan matanya mulai tergenang air.
"Suami saya…. adalah orang yang begitu saya cintai, orang yang mengambil sebagian besar dari diri saya. Laki-laki yang saya pilih untuk menjalani sisa hidup saya. Saya memberikan seluruh hati saya untuknya. Saat penyakit hatinya itu pelan-pelan mengambil nyawanya, saya juga ikut pergi. Dan sungguh, saya masih tidak dapat membayangkan hari-hari saya tanpanya. Kamu tidak bisa menyamakan sakit kehilangan sahabat dan kehilangan suami. Kamu tidak tau rasanya.” Wanita itu berbicara dengan sedikit gemetar. Tiap kali dia membayangkan suaminya, dadanya terasa sesak luar biasa.

Ketua itu memandang wanita di depannya dalam.
"Saya mengerti sakitnya. Saya mengerti rasanya. Percayalah.”
Sekali lagi suara hujan memenuhi keheningan.
Mereka semua terdiam, tidak ada yang angkat bicara. Wanita itu masih gemetar dan menggeleng.
“Bagaimana kamu tau?”
“Jika diminta untuk mendeskripsikan suami saya, hanya ada satu kata: sahabat. Orang yang paling mengenal saya dibanding diri saya sendiri. Orang yang ada di malam hari memperhatikan saya tertidur. Orang yang mengelus rambut saya saat saya menangis. Saat kanker otak itu membawanya pergi dari saya, semua yang saya ingat hanyalah persahabatan kami yang begitu murni. Cinta di antara kami yang begitu nyata. Dia adalah sahabat yang menghabiskan sisa hidupnya bersama saya, saling bertukar cerita senang dan sedih. Begitu banyak rahasia yang hanya dia yang tau. Tentu saja, sahabat saya adalah suami saya. Panggilan itu lebih terasa berarti, karna tidak akhir dalam persahabatan, bukan?"
Wanita itu berhenti gemetar, dia hanya terdiam kaget. Tidak tau harus membalas apa, ternyata bukan dia yang merasa kesakitan sendirian.

Ketua itu melanjutkan ucapannya lagi,
"Tapi satu yang saya sadari sekarang. Setelah 35 tahun pernikahan kami, dan 9 tahun setelah dia tidak pernah kembali, cinta itu tidak pernah mati walaupun raga pergi. Tapi, rasa hilang ini selalu ada, rasa rindu itu akan terus ada. Kamu hanya bisa menghargai setiap waktumu disaat kamu masih merasa utuh memilikinya….
… Hanya satu pesan saya, jangan sampai terlambat."