Sekumpulan bahasa pribadi.

Lalu bahasa hanyalah sekedar perantara.
Hati adalah sumber dari segalanya.
Tidak perlu dipahami, tapi butuh dirasakan.

Tuesday 1 February 2011

Biru Muda (Bagian 1)


Saya duduk di hadapan laki-laki itu, matanya tidak tertuju pada saya.
Saya tidak tau sedang tebang kemana pikirannya.
Yang saya tau, saya ingin sekali memeluknya dan menyuruhnya untuk berhenti bersedih.
Tapi sekarang, bahkan untuk menyentuhnya saja saya tidak bisa. Tidak terpikir sama sekali oleh saya dia akan tampak semenderita ini saat saya meninggalkannya.
Dia akan tampak seberantakkan ini.
Dia selalu terlihat kuat, terlihat tangguh.
Ternyata bahkan orang yang paling saya yakin akan baik-baik saja, diam-diam menyimpan luka yang paling dalam. Mungkin masalahnya hanya seberapa hebatnya dia dapat menyembunyikan. Saya bahkan dapat melihat genangan air mata di matanya, dan dia..., ya dia tampak sebisa mungkin menahannya agar tidak terjatuh.
Pertanyaannya, buat apa ditahan?

Saya mati kemarin.
Simpel, sebuah hantaman mobil mematahkan tulang rusuk saya yang kemudian menusuk tepat ke jantung.
Saya bahkan tidak sempat merasakan apa-apa, taunya raga saya sudah tidak bernafas lagi. Saya ingat sebuah sakit yang luar biasa menjalar cepat dibalik kulit saya, hampir di semua tubuh saya, lalu kemudian, saya hilang kesadaran.
Dan hal yang saya ingat selanjutnya adalah perasaan aneh menyadari bahwa saya sudah mati.

Saya tidak pernah tau seperti apa kematian, tidak ada yang pernah kembali dari sana dan menceritakan pengalamannya.
Sekarang, bahkan saya sendiri tidak bisa kembali dan menceritakan pada orang-orang mengenai pengalaman saya setelah mati.
Yang pasti, ini aneh sekali, melihat orang-orang menangisi saya.
Beberapa ada yang terlihat tidak sungguh-sunguh, lainnya, ya seperti orang ini, laki-laki yang tadinya saya kira tidak akan apa-apa, ternyata malah sangat kesakitan.

Dia memandang tubuh saya dengan tatapan yang sangat saya rindukan, saya lupa kapan terakhir kali dia menatap saya seperti itu.
Dia bahkan membelai pipi saya pelan, sayang saya tidak bisa merasakannya lagi.
Koneksi saya dengan tubuh sendiri sudah putus.

"Jangan sedih" Saya berbisik di telinganya, dia tidak merespon apapun, ya dia tidak dapat mendengarnya.
"I failed" Dia berbicara tanpa suara, tapi saya dapat menebak apa yang dia katakan.

Kamu percaya yang mati bisa berkomunikasi dengan yang hidup?
Kata mereka, orang-orang mati mampu memberikan tanda untuk membuktikan dirinya ada. Bagaimana caranya? Saya harus bicara pada laki-laki ini. 
Saya benar-benar ingin dia berhenti berantakan.


Kenapa saya bisa tiba-tiba berhenti bernafas?
Saya belum bilang selamat tinggal padanya, saya belum memberitahu laki-laki ini betapa bahagianya saya bersamanya. Tolong coba dengar saya.
Siapapun, dari sekian banyaknya orang disini yang menghadiri pemakaman saya, tidak adakah dari mereka yang bisa melihat saya?

Ini benar-benar aneh saat menyadari bahwa diri kita seperti transparan.
Ternyata seperti ini rasanya kematian.
Kata mereka kematian itu damai, tapi tidak jauh berbeda dari kehidupan, Melelahkan.
Saat-saat seperti ini lah saya lebih memilih dicintai atau dibenci sekalipun, setidaknya saya itu nyata. Perasaan menghilang seperti ini yang paling tidak enak.

Laki-laki itu tidak berpindah sedikit pun dari samping peti mati saya.
Saya sama sekali tidak tau dia masih punya hati untuk merasa sakit.
Saya menemaninya di situ, pasrah karna saya sekarang hanya makhluk transparan.


"Kamu menyesal?" Tiba-tiba seorang wanita cantik mendekat, saya menatap bingung.
"Kamu bisa liat saya??" Tanya saya semangat.
"Kalau saya tidak bisa liat kamu, mana bisa saya ajak kamu bicara?" Dia menjawab santai.
"Tolong! Tolong beri tahu dia kalau saya di sini! Saya tidak bisa berkomunikasi dengan dia!"
"Buat apa? Memang sudah seharusnya seperti ini, dia harusnya sudah sadar kalau dia bisa kehilangan kamu kapan saja, buat apa masih memberi tahu dia kalau kamu masih di sini?"
"Tolong lahh.... Saya benar-benar tidak mau lihat dia seperti ini." Saya memohon.
"Tidak bisa, maaf ya." Dia berjalan ke samping saya sambil memperhatikan laki-laki yang sejak tadi berdiri di sana.
"Apa susahnya hanya tinggal bilang ke dia kalau saya masih di sini?" Saya kesal sekali pada wanita ini, tidak bisakah dia menolong saya sedikit saja?

"Karna kita sama-sama tidak terlihat, bagaimana saya bisa memberi tau dia?"
Saya terdiam sejenak. Wanita ini transparan juga seperti saya?
"Kamu sama seperti saya?"
"Tidak."
"Lalu kamu apa?"
"Saya punya sayap, tapi saya sembunyikan sekarang. Kamu bisa kaget kalau lihat sayap saya."
"Burung?"
"Saya tidak bisa bernyanyi"
"Memangnya burung bernyanyi?"
"Taukah kamu kalau burung itu adalah ciptaan Tuhan yang dibuat dari harpa surga? Mereka ahli dalam musik"
"Oh, saya tau! kamu pasti malaikat, mau jemput saya ya?"
"Belum. Nanti saat kamu sudah benar-benar rela untuk pergi, saya datang lagi."
Saya terdiam lagi, kali ini lebih lama. Bagaimana wanita ini tau kalau saya belum rela? Siapa juga yang rela hidupnya hilang begitu saja tiba-tiba?
"Bagaimana...." Belum selesai saya bicara, wanita itu sudah tidak ada.
Hilang tanpa jejak, dan saya kembali menjadi bening tanpa ada yang ajak bicara.


37 Hari Kemudian

"Hai Bianca." Laki-laki itu menaruh bunga Lily putih di atas nisan bertuliskan nama saya, bunga kesukaan saya.
Dia datang hampir setiap hari ke sini, hanya mengucapkan 'Hai Bianca' dan 'Saya pulang ya'. Dia tidak berbicara apapun, tidak menceritakan harinya, tidak mengatakan kerinduannya, tidak mengatakan keadaannya.
Memang sih saya mengikutinya, saya tahu aktivitasnya, saya tau dia merindukan saya, menatap foto saya, melakukan hal-hal yang sering kami lakukan berdua dulu, tapi saat dia datang ke tempat saya, dia tidak mengatakan apapun.
Hanya tidur-tiduran di rumput di sebelah kuburan ini. 
Menikmati suara burung-burung dan udara yang sejuk.
Benar kata wanita itu, saya tidak pernah memperhatikkan kalau sebenarnya burung-burung itu pandai bernyanyi.
Dan laki-laki ini tampaknya suka sekali mendengar mereka bersuara.
Laki-laki yang sangat ingin saya peluk sekarang.
Dan lagi, ya dia tertidur di sini... saya hanya bisa memperhatikannya.

Sampai akhirnya dia bangun dan berkata 'Saya pulang ya, Bianca'.


202 Hari kemudian

"Kamu tidak bosan?" Wanita itu mengagetkan saya lagi.
"Bosan apa?" Kata saya acuh.
"Mengikutinya, kamu masih belum rela untuk pergi?"
"Kalau kamu mau jemput saya sekarang, ya sudah kita pergi saja, buat apa tau saya masih belum rela atau belum?"
"Itu penting, kamu tau saya tidak suka memaksa."
"Saya tidak tau, saya tidak kenal kamu." 
Saya kesal, tidak tau kesal kenapa, tidak tau kesal pada siapa.
“Malaikat tidak suka memaksa, Bianca.”
“Terserah kamu, saya tidak ingin bicara.”
Saya benci perasaan tidak terlihat seperti ini. Saya benci saya seperti ini.
Bagaimana mungkin saya bisa rela pergi? Saya benci tau kenyataan bahwa laki-laki itu bahkan tidak kunjung membaik. Sungguh, saya tidak rela meninggalkannya seperti ini.
"Karna dia? Saya bisa membuat dia membaik."
Saya langsung menengok ke arah wanita itu.
"Kamu yakin?"
"Ya, saya bisa melakukan apapun, anggap saja saya ini General Managernya surga, kamu mau saya buat dia sembuh?"
"Ya! Saya mau!"
"Walau dia akan melupakan kamu? Kamu yakin kamu tidak ingin lagi dia mencintai kamu?"
Entah kenapa pertanyaan itu sangat menyesakkan, lucu, padahal saya tidak punya hati lagi, saya hanya roh berjalan bukan?
"Asal dia sembuh, tolong saya. Dia sangat diam, tapi justru rasanya diam itu menyimpan luka yang lebih besar daripada apapun, menyimpan luka yang lebih dalam. Tenaganya seperti sudah habis untuk menahan sakit. Maka untuk bicara, apalagi menangis, saja sudah tidak sanggup."
"Dia pasti akan sembuh, tidak ada luka yang berdarah selamanya"
"Ya, dia tidak boleh berdarah selamanya."
Wanita itu tersenyum sangat manis.
Saya kembali bersender pada lemari di kamar laki-laki itu. Laki-laki yang sedang memperhatikkan foto saya dengannya, foto favorit saya dengannya.


486 Hari kemudian

Saya sebenarnya tidak suka lihat wanita itu begitu dekat dengannya. Saya tidak suka melihatnya mengambil tempat saya.
Tapi, ya, saya melihat laki laki itu tersenyum. Senyum yang sudah sangat lama tidak kelihatan. Senyum itu begitu mulus tergores di wajah tampannya. Untuk sejenak saya tau dia mulai bangkit.
Saya menghitung hari, sudah lama juga ya saya mengikutinya.
Menjadi yang pertama kali mengucapkan selamat ulang tahun, selamat natal, selamat tahun baru, selamat kelulusan. Sudah cukup lama saya menemaninya.
Dan sekarang, apa mungkin ini bentuk kesembuhan yang dikatakan malaikat itu?
Seorang pengganti saya? Apa saya sendiri rela diganti?
Apa wanita ini bisa membahagiakannya?

Saya ingin menangis rasanya. tapi mau sekeras apapun saya mencoba menangis, tidak ada air mata yang keluar.
Mungkin ini rasanya menguap.
Saya berjalan sendirian, sedih, merasa hilang dan tidak ada orang yang datang lalu bertanya apakah saya baik-baik saja.
Saya tidak terlihat dan ini sangat membuat saya frustasi.

Saya belum siap untuk diganti........................


Biar saja saya dibilang egois. Saya hanya tidak tau kalau waktu sudah terus berlari, dan saya terjebak diantara jaman yang saya sendiri tidak mengerti, tidak bisa maju, tidak bisa mundur, dan sungguh, saya ingin menyerah..................


673 Hari kemudian

Dia membawa wanita itu ke kuburan saya. Untuk apa?
"Halo Bianca."
Saya tidak mendekatinya, laki-laki itu sedang mengelus nisan saya. Saya berdiri agak jauh, tidak terlalu jauh untuk tetap dapat mendengarnya menyapa saya seperti biasa, tapi saya tidak ingin berdiri lebih dekat. Aneh rasanya menyadari laki-laki itu membawa orang lain bersamanya.
"Halo Bianca, kita belum kenalan ya? Nama saya Lily, kata Deryl itu bunga kesukaan kamu? Saya juga suka sama bunga Lily. Kamu apa kabar di sana? Bahagia di surga?"
"Boro-boro surga, saya masih terperangkap di masa lalu, dan sayangnya saya tidak punya masa depan" Jawab saya kencang, saya tau dia tidak mungkin mendengar saya.
"Deryl hebat sekali loh! Dia lulus S2 dengan predikat Summa Cum Laude! Lalu belum lama ini, dia baru saja ditawari pekerjaan di UK sebagai Accounting Consultant sebuah perusahaan terkenal. Kalau saja kamu tau, kamu pasti sangat bangga. Lalu..." Lily bercerita semangat.

"Dia tau" Laki-laki itu memotong cerita Lily.

Lily langsung menengok ke arah Deryl dan mengerutkan keningnya.
"Dia tau semuanya, kamu tidak perlu menceritakannya lagi, dia tau selengkap-lengkapnya. Dia selalu ada di samping saya kok. Dia yang pertama mengucapkan kelulusan pada saya, dia yang pertama melihat nilai-nilai saya, dia yang pertama mengucapkan selamat ulang tahun, selamat natal, selamat tahun baru. Dia tau semua yang saya alami. Menurut kamu kenapa saya cuma menyapa 'Halo Bianca' tadi? Saya bahkan tidak perlu menceritakan apa-apa lagi pada dia, saya yakin dia tau semuanya"


Saya terdiam, kaget.


"Saya bisa merasakan dia ada di dekat saya, saya tau dia seperti malaikat penjaga." Lanjut Deryl lagi. Lily ikut tersenyum.
"Saya bisa lihat betapa besarnya kamu mencintai wanita ini. Saya yakin dia selalu ada bersama kamu."
"Saya mencintainya. Kata-kata yang tidak pernah saya ucapkan padanya waktu dia hidup, tapi saya yakin sekarang dia tau."

Lily duduk menghadap nisan saya kemudian mengelus namanya.
"Bianca, dimanapun kamu sekarang, saya yakin kamu juga pasti dengar saya. Saya tidak tau apa kamu tau hal yang ini juga atau tidak, tapi saya mencintai laki-laki ini, saya pasti jaga dia."

Saya menyerah berusaha untuk menangis, tidak ada air mata yang keluar.
Maaf jika hujan turun tiba-tiba.

"Hujan." Deryl bicara pelan kepada Lily. Lily langsung menutupi kepalanya dengan tasnya.
"Deryl, yuk kita pulang, rasanya tadi cuaca sangat bagus"

Deryl mengelus nisan saya, "Saya pulang ya.."


1794 hari kemudian

Laki-laki itu datang dengan setelan jas yang sangat rapih. Dia terlihat tampan luar biasa. Saya bangga pernah memilikinya.
Dia membawa bunga Lily lagi dan menaruhnya di atas kuburan saya, kali ini jumlahnya lebih banyak dari biasa.
"Halo Bianca." Ucapnya manis, dengan senyum yang sangat mempesona. Saat itu saya benar-benar yakin, dia sudah sembuh.
"Hari ini saya akan menikah. Tidak munafik dulu saya pikir kamu yang akan saya tunggu di altar nanti. Tapi, kamu malah tidak sanggup menghadiri pernikahan kita."

Deryl duduk disebelah nisan saya.
"Saya harap kamu baik-baik dimanapun kamu sekarang, karna saya juga sudah sangat baik. Saya bisa merasakan kamu selalu ada di dekat saya selama ini, saya seperti mempunyai malaikat sendiri. Terima kasih, Bianca" Sebuah kecupan manis mendarat di nisan itu. 

Saya ingin sekali bisa merasakan kecupannya.

"Tapi apa kamu pernah berpikir, jika kamu terus ada di sisi saya, kapan kamu mau menikmati surga......? Maka itu, pergi Bianca, pergi. Saya rela. Tenang saja, saya tidak akan berhenti mencintai kamu. Kamu hidup selamanya di sini" Deryl menepuk dadanya pelan.


"Saya menepati janji kan? Laki-laki itu pasti sembuh" Wanita yang sangat saya afal suaranya tiba-tiba berbisik dari belakang.
"Ya, terima kasih." Saya ikut tersenyum.
"Sekarang kamu sudah rela untuk pergi?"
"Saya rasa iya, boleh saya mengucapkan selamat tinggal pada dia?"
"Boleh, cara apa yang ingin kamu pakai?"
"Burung...... Saya ingin jadi burung."
Wanita itu tersenyum.


*

"Sampai jumpa Bianca, kamu adalah yang terbaik, dan kamu selalu punya tempat di hati saya, tidak pernah tergeser." Saya mengelus nisan wanita ini sekali lagi. Lily sudah menelepon saya, mungkin dia takut calon suaminya tidak pergi ke altar. 
Saya mengangguk pelan sambil menahan senyum.

Ya, saya merelakan Bianca. 
Saya rela dia pergi, kembali ke tempat seharusnya semua manusia akan berada.


Hari ini cuaca begitu bagus. Burung-burung bertebangan dan bernyanyi tidak berhenti.
Saya baru saja membalikkan tubuh ketika seekor burung hinggap dipundak saya.
Dia bercuit kecil yang membuat saya tertawa pelan. Burung ini sangat cantik.

Dan warnanya biru muda.

Warna kesukaan Bianca.