Banyak yang suka bilang kalau cinta itu
tidak harus memiliki.
Dan entah kenapa, dulu saya tidak pernah
percaya pada kata-kata itu.
Cinta itu egois, dia harus memiliki atau
dia bisa menyakiti, membunuh.
Banyak juga yang sering bilang bahwa
kebahagiaan seseorang adalah saat melihat orang yang dicintainya bahagia.
Itu adalah ungkapan paling munafik yang
pernah saya dengar.
Kebahagiaan macam apa yang menyiksa diri
sendiri?
Kebahagiaan dengan bagaimana bentuknya
saat kamu melihat orang yang paling kamu cintai dimiliki orang lain?
Masokis yang macam apa?
Kalau kamu mau adu mulut tentang hal-hal
itu, saya jagoannya. DULU
Mengenal laki-laki yang selalu saya
perhatikkan dari sudut mata ini, sudah cukup membawa diri saya larut dalam
perasaan yang selama ini tidak pernah ingin saya rasakan. Perasaan yang menurut
saya tidak nyata.
Dia memang berada di depan saya.
Tersenyum, berbinar, tapi ironisnya bukan saya alasan dari senyumannya.
"Saya
akan melamarnya." Ucap laki-laki itu tegas. Ucapan itu meluncur
begitu saja di tengah jam makan siang kami.
Saya ingin menangis sekaligus tertawa.
"Kapan?"
Saya mencoba bersuara senormal mungkin. Sahabat saya itu kadang terlalu tidak
peka pada wanita yang duduk di depannya sekarang, ya, pikirannya sudah
terlanjur penuh diisi wanita lain.
"Besok."
Jawabnya lagi sambil menaruh menu makanan yang dipegangnya.
Saya tersenyum, tidak menangis, sungguh,
sebuah senyuman yang tulus.
"Kamu
mau pesan makanan sekarang? Saya yang traktir!" Katanya lagi, saya
hanya mengangguk
Tidak lama datang seorang pelayan
menanyakan pesanan.
Laki-laki itu memesan makanan banyak
sekali dan semuanya adalah makanan kesukaan saya. Tapi rasanya saya sedang
tidak ingin makan apa-apa.
Tidak ada yang sanggup masuk lagi,
berita ini sudah sangat berat untuk dipercaya.
"Sya?"
Panggilnya pelan.
"Ya?"
"Saya
tidak pernah tau, apa kamu pernah jatuh cinta?"
Saya terdiam sesaat, bingung mau
membalas apa.
"Kamu
pernah tau cerita tentang seekor kupu-kupu yang jatuh cinta pada manusia?"
"Tidak,
kalau putri duyung saya tau."
Saya tertawa kecil, lalu melanjutkan
bicara.
"Katanya
ada seekor kupu-kupu biasa dengan warna putih polos."
"Bagaimana
kalau warnanya ungu saja? Warna kesukaan Angela."
'Warna kesukaan saya putih, Dit.' Saya
bicara dalam hati, tapi yang keluar bukan itu.
"Ya
sudah, iya, iya, warnanya ungu." Saya tersenyum, dia kemudian
tertawa.
"Lanjutkan."
"Kupu-kupu
ungu ini jatuh cinta pada seorang peneliti serangga di sebuah kota. Setiap hari
kupu-kupu ini pergi ke sana dan berharap dirinya ditangkap oleh peneliti itu."
"Tapi
dia tidak pernah ditangkap?"
"Sayangnya
peneliti itu menganggap kupu-kupu itu kupu-kupu yang cantik sehingga dia tidak
mau menangkapnya, membiarkan kupu-kupu itu bebas."
"Mereka
salah di komunikasi."
Laki-laki itu tersenyum, saya tersenyum
lebih lebar.
"Tapi
kemudian suatu saat, kupu-kupu itu nekat terbang ke dalam rumah si peneliti dan
sengaja masuk di dalam tempat serangga. Dia rela berada di situ, walaupun tidak
lagi bebas selama dia bisa bersama dengan peneliti itu setiap hari."
Aditya mulai terdiam, serius menanggapi
cerita saya.
"Tapi
bodohnya, dia tidak tau kalau di tempat serangga itu terdapat berbagai serangga
jahat yang malah menyakitinya."
"Dia
harus menyakiti dirinya hanya untuk dapat bersama si peneliti?"
"Ya,
dan sedihnya, peneliti itu bahkan tidak sadar kalau dia ada. Dia sibuk
memperluas studinya sampai ke luar negri, dan dengan terpaksa harus
meninggalkan kota itu."
"Dan
meninggalkan kupu-kupunya?"
"Iya."
"Kenapa
kamu menceritakan cerita sedih ini?"
"Unrequited love.
Itu adalah hal paling menyedihkan yang pernah saya dengar."
"Memangnya
ada apa dengan cinta satu tepukkan itu?"
"Saat manusia jatuh cinta untuk
seseorang, mereka membutuhkan orang itu untuk menangkapnya. Tapi, saat cinta
itu unrequited, they need to save themselves because they fall alone.
No one will catch them"
"Lalu mereka tidak seharusnya jatuh
cinta pada orang yang tidak mencintainya balik, simpel kan?"
"Tapi
kadang perasaan melanggar aturan hati. Kadang dengan bodohnya, mereka tidak
peduli dan akhirnya kalah. Apa kamu tau? Ada dua macam bentuk unrequited
love untuk wanita jatuh cinta di dunia ini. Satu yang buta, satu yang tidak
buta."
"Coba
jelaskan."
"Wanita
jatuh cinta yang buta tidak tau apa yang ada di depannya, tidak tau apa akan
ada lubang atau jalan bagus, tapi mereka mengambil resiko itu untuk tetap maju
dan terus jatuh cinta. Wanita yang tidak buta, sudah tau jalan apa yang ada di
depannya, bahkan kadang sudah tau tidak ada jalan lagi di sana, sudah tau akan
sakit, tapi dia juga terus jatuh cinta."
"Lalu? Sama saja bukan? Mereka
sama-sama terus jatuh cinta?"
'Dan saya adalah wanita jatuh cinta yang
kedua' Teriak saya dalam hati, tapi dengan bangganya saya memperlihatkan senyum
saya dan berkata,
"Maka
itu saya takut jatuh cinta"
"Kamu
takut jatuh cinta?" Dia pun tertawa lepas.
"Ya,
lebih baik seperti ini. Saya takut mengambil resiko untuk terus jatuh cinta.
Seperti kedua jenis wanita itu, dua-duanya tidak ada yang baik. Sedangkan saya
bisa selalu baik-baik saja tanpa harus menjadi salah satu dari dua macam wanita
tersebut. Saat tidak memiliki apapun, saya tidak akan kehilangan apapun, bukan?"
Salah. Ya, saya tau ucapan itu
salah.
Betapa besarnya keinginan saya untuk
memiliki laki-laki ini.
"Kamu
harus mencoba membuka diri, Sya. Kamu tidak akan selamanya bisa hidup
sendirian. Jatuh cinta bukan sebuah perasaan yang harus ditakuti, jatuh cinta
itu memberikan alasan untuk bangun dari tidur setiap harinya." Aditya
berbicara dengan lembut. Bagaimana saya bisa menahan perasaan ini?
Saya memalingkan tatapan mata saya dari
matanya. Takut dia bisa menemukan perasaan yang saya sembunyikan setengah mati
hanya dengan melihat mata ini.
"Nanti,
suatu saat saya pasti jatuh cinta."
Laki-laki itu tersenyum manis kemudian
mengambil handphonenya. Lalu saya dapat melihat sebuah senyuman yang lebih
manis lagi. Matanya tertuju pada benda elektronik itu dan wajahnya terlihat
berbinar. Tanpa mengintip pun saya sudah tau siapa yang sedang diajaknya bicara
lewat handphone.
Ya, mungkin begini rasanya mencintai
seseorang tanpa memilikinya. Mungkin kata-kata itu memang tidak terlalu
munafik, dan saya hanya menemukan macam kebahagiaan yang lain. Sama saja
seperti kupu-kupu menyedihkan itu. Untuk merasakan kenyamanan yang luar biasa
tepat pada senyuman bahagianya, tapi juga ada selipan rasa masokis dan
berantakkan karna harus merelakan dia.
Dan ini bukan lagi sekedar kata-kata.
Menjadi sahabatnya, menjadi pendengar,
maupun membantunya, malah memberikan saya kepuasan sendiri karna menjadi
berguna untuk dia.
Saya mengaku kalah kali ini, kalah
berdebat.
Mungkin ungkapan cinta tidak harus
memiliki itu nyata.
I know there's no way for me and him to
be together
But I keep falling for him.
And I don't mind...............
"Chrisya,
laki-laki yang bisa membuat kamu jatuh cinta nanti pasti sangat sempurna."
Saya tersenyum
"Belum
tentu. Laki-laki sempurna itu sayangnya mungkin menjadi tidak sempurna ketika
dia tidak jatuh cinta kembali kepada saya."
Saya menaikkan gelas air putih saya di
hadapannya.
"Untuk
kamu dan Angela, semoga kalian berdua bahagia."
Senyuman tulus sekali lagi terkembang
dari wajah saya.
'Aditya, Terima kasih karna membuat saya
merasakan sebuah perasaan jatuh cinta yang hangat. Terima kasih menjadi alasan
saya untuk bangun tidur setiap pagi. Terima kasih kamu nyata, kamu bukan
sebatas khayalan saya. Kamu bukan sebatas mimpi indah -yang terkadang mimpi
buruk-. Terima kasih kamu tidak mengupas saya dalam-dalam, sebelum kamu
menemukan nama kamu dimana-mana, di seluruh pikiran saya'
"Dan
Adit... selamat ya" Ucap saya panjang.
Tapi yang keluar di mulut hanya kalimat
terakhir.
Adit membalas tos-an gelas saya lalu
mulai lanjut menceritakan pacarnya, Angela.
Saya hanya terus memperhatikannya.
Biar saja seperti ini, jatuh cinta
padanya.... saya tau saya bisa menyelamatkan diri sendiri.
Lagipula, saya tidak bisa berhenti
memandangnya.
Senyumnya
adalah senyum favorit saya