Berakhir.
Seharusnya sudah berakhir.
Tapi
lepas darinya seperti akhir yang tidak pernah selesai.
Saya
sudah lupa ini hari keberapa.
Sejak
tidak lagi mau berharap, saya sudah berhenti menghitung hari. Dan pagi ini,
saya bangun tanpa peduli lagi pada angka-angka imajinari yang ada di atas
kalender.
Pemandangan
Nassau pagi ini tetap indah seperti biasanya.
Pantainya
tetap memukau dari jauh, ombaknya menggulung terpisah dari cakrawala biru yang
membentang gagah.
Kota
di sebuah pulau bagian Amerika Tengah ini sudah menjadi kota impian saya sejak
bahkan saya masih kecil.
Saat
sebuah beasiswa membawa saya ke kota ini, rasanya lingkup mimpi mendadak
berubah menjadi begitu solid.
Tapi
perlahan mengikis apa yang sudah dibangun kenyataan.
Saya
masih ingat jelas kata-kata terakhirnya sebelum saya pergi.
"You are a star that shines so bright, and if someday the
star falls, I will be the first one to see it. No matter how far it will be. Precious,
you can always count on me, I guarantee that."
Terakhir
kali saya berhitung, itu adalah hari ke-124.
Saat
kemudian kita benar-benar berakhir, saya berhenti menjadi bintang, saya
berhenti menghitung.
Dan
saya rindu dia sekarang. Rindu luar biasa untuk bisa nekat memaketkannya ke
sini.
Saya
tidak berhenti memandang jendela di depan saya. Sinar matahari sudah menduduki
celahnya tanpa bisa diganggu gugat.
Saya
sendiri hanya bisa memeluk diri, menahan sakit hati harian setiap bangun pagi.
Tidak
tau hari ini tanggal berapa, hari keberapa tanpanya.
Tapi
yang pasti, yang saya tau hari ini tidak seperti sakit-sakit biasanya.
Hari
ini sakitnya berbeda dan saya tidak tau kenapa.
Sakit
yang tidak bisa diberi obat apapun, termasuk betadine.
Saya
hanya ingin cepat selesai. Cepat sembuh.
Lalu
tanpa berpikir panjang, saya mengambil handphone dan mengetik namanya di layar.
Mencari
penyembuh, satu-satunya penyembuh.
"Halo." Bukan suara yang saya
harapkan.
"Halo,
selamat malam, bisa bicara dengan Derian?" Jakarta sedang malam hari bukan?
"Ini
Saskia ya? Ini tante, Sas."
"Halo
tante, apa kabar?" Saya berusaha menormalkan suara saya sebisa mungkin.
"Baik!
Kamu apa kabar, Sas?"
"Baik
juga tante, om juga baik kan?"
"Baik
kok, semuanya baik. Kamu cari Derian ya, Sas? Derian pergi liburan bersama
teman-temannya. Dia bilang ingin cari suasana segar. Ingin meregangkan pikiran.
Mungkin pulangnya sekitar 3 minggu lagi."
"Oh
ya? liburan?"
"Iya,
dia mungkin tidak ingat untuk bilang sama kamu ya?"
"Oh,
iya.. Tidak apa-apa tante. Terima kasih ya."
"Iya,
sama-sama, kamu jaga diri ya di sana."
"Iya,
tante juga ya." Saya
tau suara saya makin terdengar tidak normal. Sebelum makin buruk, saya menutup
teleponnya.
Sudah
cukup mempermalukan diri saya sendiri. Terus mencarinya sementara dia baik-baik
saja tanpa saya. Tidak tau harus marah atau harus sedih, keduanya tampak
bekerja sama bersatu dan membentuk pasukkan air mata yang seenaknya saja mulai
mengalir di pipi saya.
Ada
angka di layar handphone saya yang seketika langsung membuat saya lemas.
Saya
ingat.
Saya
tau ini tanggal berapa.
Saya
tau ini hari apa.
Saya
tau kenapa hari ini sakitnya tidak seperti biasa.
Saya
mulai menangis lebih deras lagi.
Mengharapkan
seseorang yang tidak akan mendengar tangisan saya.
Pemandangan
kota favorit saya tidak lagi menghibur. Dia begitu saja tetap diam tanpa
membantu saya berhenti menangis. Lagipula apa yang diharapkan dari hidup
sendiri di kota orang? Saat ini saya hanya bisa menggumam sendiri. Gumaman yang
saya ucapkan namun lebih terdengar seperti teriakkan. Setidaknya untuk saya,
setidaknya di kamar saya.
Saya
tidak pernah berpikir bahwa manusia bisa mati karna menangis. Tapi sekarang
rasanya saya ingin menangis sampai hampir mati.
Sebut
saya terlalu sensitif atau apapun. Tapi sungguh, saya merasakan kesepian
terhebat hari ini.
"Kamu
bilang saat saya jadi bintang jatuh kamu akan lihat saya....." Saya masih
tersesak pelan. Namun rasanya semua emosi menggumpal di balik otak dan perlahan
meracuni hati.
Saya
sudah berniat akan mengunci diri saya seharian ini di rumah. Setidaknya sampai
hari ini berakhir.
Mengunci
diri sendiri untuk membebaskan segala kumpulan kecewa yang selama ini dipendam
terlalu lama.
"Do
me a star story one more time. Let a star knows that it's still shining.
Feeling like disappearing is the last choice anybody would take." Saya rasanya hanya
membebaskan segelintir perasaan, tapi saya tau saya berteriak kencang.
Berteriak kepada telinga sendiri.
Dan
membuat saya menangis makin kencang.
Dan
terus menangis.
Tidak
berhenti.
Mungkin
ada saatnya kita hanya ingin menangis dan tidak ada yang menghentikan.
Semua
orang berhak untuk itu.
Tidak
ada larangan untuk menjadi lemah,.... di depan diri sendiri.
Dan
entah sudah air mata ke berapa saat tiba-tiba pintu kamar saya diketuk.
Saya
menghentikan kegiatan menangis saya sesaat, menghapus air mata yang ada dan
bersiap untuk membuka pintu. Siapa pula yang ingin mengganggu saya hari ini?
"Tidak
usah dibuka."
Ucap suara dibalik pintu saat saya bergegas membuka gagang pintu.
Saya
kenal suara ini. Saya tidak percaya. Mungkin daya khayal saya sudah melebihi
batas.
"Tidak
usah dibuka sekarang jika kamu belum siap." Ulang suara itu lagi.
"Saya
dengar kamu menangis begitu lama. Saya dengar kamu berteriak-teriak sendiri,
saya yakin kamu pasti sedang ingin sendiri."
"Saya
tidak tau apa kamu mau bertemu saya sekarang, I just want to pleasure a star. I
don't know if I'm still capable or not. I heard you called someone, I guess it
was supposed to be me. But then after calling whoever that was, you started to
cry. If it was supposed to be me, then I might affect you badly. To make a star
crying that loud."
"Kamu
bebas menangis dulu. Nanti kalau sudah puas, baru buka pintunya."
Saya
kaget luar biasa. Saya yakin saya kenal betul suara itu.
Dan,
benar, ini adalah Nassau.
Kota
yang jauhnya 17.871,5 kilometer dari Jakarta.
Saya
langsung membuka pintunya dan menemukan dia duduk di depan pintu apartemen saya.
"Sudah
berapa lama kamu di sini?" Ucapan pertamaku.
"Sekitar
jam 7 pagi tadi. Saya… tidak berani untuk membangunkan kamu" Saya melihat dia
tampak begitu kelelahan.
"Untuk
apa kamu ke sini?"
"I
just don't want to fail this day, I want to be here for you. You always are a
star that has been my favorite one, my only one. And my private shooting
star who makes my dreams come true. How could I ever let you go? If
distance is what matters, I don't care which part of earth you are at as long
as I still can catch you. We cannot be over. I try thousands ways to figure it
out. To figure out how to let us go, but I can' t seem to find a way.
I...."
Saya
tidak bisa berkata-kata lagi, saya tidak ingin mendengar dia berkata-kata lagi.
Saya langsung memeluknya. Nassau bukan lagi tempat kesukaan saya. Saya tau
tempat kesukaan saya adalah pelukannya. Selalu dan akan terus begini.
Saya
menyerah untuk terus menyangkal hati ini. Tidak ada dari penyangkalan itu yang menang
melawan jarak. Nyatanya, saya dan dia yang memang diharuskan untuk bersama.
Layaknya sebuah putaran galaksi yang meringkup jadi satu garis tataan bintang.
Saya dan dia akan selalu berada di garis yang sama.
"Saya
bawa ini buat kamu, Saya beli itu di airport tadi. Saya tidak tau apa masih
enak di makan atau tidak." Dia menenteng kotak putih sambil tersenyum.
Saya langsung mempersilahkannya masuk. Menaruh kotak putih itu di atas meja dan
membukanya.
Kue
muffin blueberry dengan coklat putih bertuliskan
"Happy
Birthday, Shooting Star."
Kue
kesukaan saya. Manusia kesukaan saya.
Sungguh,
semua yang saya butuhkan ada disini.
Dan
sebuah kejutan sempurna.
Hari
ini adalah hari ke satu. Saya tidak keberatan kembali lagi dari awal.