Sekumpulan bahasa pribadi.

Lalu bahasa hanyalah sekedar perantara.
Hati adalah sumber dari segalanya.
Tidak perlu dipahami, tapi butuh dirasakan.

Tuesday 19 April 2011

Hari Kesatu


Berakhir. Seharusnya sudah berakhir.

Tapi lepas darinya seperti akhir yang tidak pernah selesai.

Saya sudah lupa ini hari keberapa.
Sejak tidak lagi mau berharap, saya sudah berhenti menghitung hari. Dan pagi ini, saya bangun tanpa peduli lagi pada angka-angka imajinari yang ada di atas kalender.

Pemandangan Nassau pagi ini tetap indah seperti biasanya.
Pantainya tetap memukau dari jauh, ombaknya menggulung terpisah dari cakrawala biru yang membentang gagah.
Kota di sebuah pulau bagian Amerika Tengah ini sudah menjadi kota impian saya sejak bahkan saya masih kecil.
Saat sebuah beasiswa membawa saya ke kota ini, rasanya lingkup mimpi mendadak berubah menjadi begitu solid.
Tapi perlahan mengikis apa yang sudah dibangun kenyataan.
Saya masih ingat jelas kata-kata terakhirnya sebelum saya pergi.
"You are a star that shines so bright, and if someday the star falls, I will be the first one to see it. No matter how far it will be. Precious, you can always count on me, I guarantee that."

Terakhir kali saya berhitung, itu adalah hari ke-124.
Saat kemudian kita benar-benar berakhir, saya berhenti menjadi bintang, saya berhenti menghitung.
Dan saya rindu dia sekarang. Rindu luar biasa untuk bisa nekat memaketkannya ke sini.

Saya tidak berhenti memandang jendela di depan saya. Sinar matahari sudah menduduki celahnya tanpa bisa diganggu gugat.
Saya sendiri hanya bisa memeluk diri, menahan sakit hati harian setiap bangun pagi.
Tidak tau hari ini tanggal berapa, hari keberapa tanpanya.
Tapi yang pasti, yang saya tau hari ini tidak seperti sakit-sakit biasanya.
Hari ini sakitnya berbeda dan saya tidak tau kenapa.
Sakit yang tidak bisa diberi obat apapun, termasuk betadine.
Saya hanya ingin cepat selesai. Cepat sembuh.
Lalu tanpa berpikir panjang, saya mengambil handphone dan mengetik namanya di layar.
Mencari penyembuh, satu-satunya penyembuh.

"Halo." Bukan suara yang saya harapkan.
"Halo, selamat malam, bisa bicara dengan Derian?" Jakarta sedang malam hari bukan?
"Ini Saskia ya? Ini tante, Sas."
"Halo tante, apa kabar?" Saya berusaha menormalkan suara saya sebisa mungkin.
"Baik! Kamu apa kabar, Sas?"
"Baik juga tante, om juga baik kan?"
"Baik kok, semuanya baik. Kamu cari Derian ya, Sas? Derian pergi liburan bersama teman-temannya. Dia bilang ingin cari suasana segar. Ingin meregangkan pikiran. Mungkin pulangnya sekitar 3 minggu lagi."
"Oh ya? liburan?"
"Iya, dia mungkin tidak ingat untuk bilang sama kamu ya?"
"Oh, iya.. Tidak apa-apa tante. Terima kasih ya."
"Iya, sama-sama, kamu jaga diri ya di sana."
"Iya, tante juga ya." Saya tau suara saya makin terdengar tidak normal. Sebelum makin buruk, saya menutup teleponnya.

Sudah cukup mempermalukan diri saya sendiri. Terus mencarinya sementara dia baik-baik saja tanpa saya. Tidak tau harus marah atau harus sedih, keduanya tampak bekerja sama bersatu dan membentuk pasukkan air mata yang seenaknya saja mulai mengalir di pipi saya.

Ada angka di layar handphone saya yang seketika langsung membuat saya lemas.
Saya ingat.
Saya tau ini tanggal berapa.
Saya tau ini hari apa.
Saya tau kenapa hari ini sakitnya tidak seperti biasa.
Saya mulai menangis lebih deras lagi.
Mengharapkan seseorang yang tidak akan mendengar tangisan saya.

Pemandangan kota favorit saya tidak lagi menghibur. Dia begitu saja tetap diam tanpa membantu saya berhenti menangis. Lagipula apa yang diharapkan dari hidup sendiri di kota orang? Saat ini saya hanya bisa menggumam sendiri. Gumaman yang saya ucapkan namun lebih terdengar seperti teriakkan. Setidaknya untuk saya, setidaknya di kamar saya.

Saya tidak pernah berpikir bahwa manusia bisa mati karna menangis. Tapi sekarang rasanya saya ingin menangis sampai hampir mati.
Sebut saya terlalu sensitif atau apapun. Tapi sungguh, saya merasakan kesepian terhebat hari ini.
"Kamu bilang saat saya jadi bintang jatuh kamu akan lihat saya....." Saya masih tersesak pelan. Namun rasanya semua emosi menggumpal di balik otak dan perlahan meracuni hati.

Saya sudah berniat akan mengunci diri saya seharian ini di rumah. Setidaknya sampai hari ini berakhir.
Mengunci diri sendiri untuk membebaskan segala kumpulan kecewa yang selama ini dipendam terlalu lama.

"Do me a star story one more time. Let a star knows that it's still shining. Feeling like disappearing is the last choice anybody would take." Saya rasanya hanya membebaskan segelintir perasaan, tapi saya tau saya berteriak kencang. Berteriak kepada telinga sendiri.
Dan membuat saya menangis makin kencang.
Dan terus menangis.
Tidak berhenti.
Mungkin ada saatnya kita hanya ingin menangis dan tidak ada yang menghentikan.
Semua orang berhak untuk itu.
Tidak ada larangan untuk menjadi lemah,.... di depan diri sendiri.

Dan entah sudah air mata ke berapa saat tiba-tiba pintu kamar saya diketuk.
Saya menghentikan kegiatan menangis saya sesaat, menghapus air mata yang ada dan bersiap untuk membuka pintu. Siapa pula yang ingin mengganggu saya hari ini?

"Tidak usah dibuka." Ucap suara dibalik pintu saat saya bergegas membuka gagang pintu.
Saya kenal suara ini. Saya tidak percaya. Mungkin daya khayal saya sudah melebihi batas.
"Tidak usah dibuka sekarang jika kamu belum siap." Ulang suara itu lagi.
"Saya dengar kamu menangis begitu lama. Saya dengar kamu berteriak-teriak sendiri, saya yakin kamu pasti sedang ingin sendiri."
"Saya tidak tau apa kamu mau bertemu saya sekarang, I just want to pleasure a star. I don't know if I'm still capable or not. I heard you called someone, I guess it was supposed to be me. But then after calling whoever that was, you started to cry. If it was supposed to be me, then I might affect you badly. To make a star crying that loud."
"Kamu bebas menangis dulu. Nanti kalau sudah puas, baru buka pintunya."

Saya kaget luar biasa. Saya yakin saya kenal betul suara itu.
Dan, benar, ini adalah Nassau.
Kota yang jauhnya 17.871,5 kilometer dari Jakarta.

Saya langsung membuka pintunya dan menemukan dia duduk di depan pintu apartemen saya.
"Sudah berapa lama kamu di sini?" Ucapan pertamaku.
"Sekitar jam 7 pagi tadi. Saya… tidak berani untuk membangunkan kamu" Saya melihat dia tampak begitu kelelahan.
"Untuk apa kamu ke sini?"

"I just don't want to fail this day, I want to be here for you. You always are a star that has been my favorite one, my only one. And my private shooting star who makes my dreams come true. How could I ever let you go? If distance is what matters, I don't care which part of earth you are at as long as I still can catch you. We cannot be over. I try thousands ways to figure it out. To figure out how to let us go, but I can' t seem to find a way. I...."

Saya tidak bisa berkata-kata lagi, saya tidak ingin mendengar dia berkata-kata lagi. Saya langsung memeluknya. Nassau bukan lagi tempat kesukaan saya. Saya tau tempat kesukaan saya adalah pelukannya. Selalu dan akan terus begini.
Saya menyerah untuk terus menyangkal hati ini. Tidak ada dari penyangkalan itu yang menang melawan jarak. Nyatanya, saya dan dia yang memang diharuskan untuk bersama. Layaknya sebuah putaran galaksi yang meringkup jadi satu garis tataan bintang. Saya dan dia akan selalu berada di garis yang sama.

"Saya bawa ini buat kamu, Saya beli itu di airport tadi. Saya tidak tau apa masih enak di makan atau tidak." Dia menenteng kotak putih sambil tersenyum. Saya langsung mempersilahkannya masuk. Menaruh kotak putih itu di atas meja dan membukanya.

Kue muffin blueberry dengan coklat putih bertuliskan
"Happy Birthday, Shooting Star."

Kue kesukaan saya. Manusia kesukaan saya.
Sungguh, semua yang saya butuhkan ada disini.

Dan sebuah kejutan sempurna.

Hari ini adalah hari ke satu. Saya tidak keberatan kembali lagi dari awal.