Sekumpulan bahasa pribadi.

Lalu bahasa hanyalah sekedar perantara.
Hati adalah sumber dari segalanya.
Tidak perlu dipahami, tapi butuh dirasakan.

Tuesday 11 October 2011

Patahan Magnet


Tujuh tahun sebelumnya.

Sudah 3 jam saya menghabiskan waktu disini.
Saya sangat suka tempat ini, sungai ini.
Secangkir skinny latte tampaknya menjadi pelengkap yang sempurna, belum lagi ditambah alunan musik saxophone yang berbaur tenang dengan imajinasi saya.
Saya bisa berdiam selamanya disini, as if forever really exists.
Saya dan tempat ini adalah patahan magnet yang selalu kembali.
Saya belajar banyak saat saya sendirian.
Saya belajar bagaimana menjadi sendirian menyelamatkan saya dari perasaan ditinggalkan. 
Belajar bagaimana sendirian meleburkan kekhawatiran akan rasa kehilangan.
Ya, kadang sendirian adalah hal yang baik....
Tapi belakangan ini, saya sedikit bosan belajar, belakangan ini saya malah tidak tenang menjadi sendirian.
Pikiran saya sedang menakuti diri sendiri.
Dan sayangnya kelakuan ini seperti daging yang sudah menyatu pada tulang manubrium tepat di tengah dada. Menjadi sendirian adalah zona aman saya.
Mungkin...........

Hari ini, saya duduk dalam keadaan setengah jenuh.
Setengah hilang.
Rasanya seperti tidak siap untuk melihat matahari terbenam.
Membiarkan waktu berlalu, pagi datang, dan saya harus berpisah dengan tempat ini.
Hari ini cuacanya begitu indah, saya bahkan terbawa cinta lokasi pada angin yang berhembus mengelus dagu.
Menyadari ini adalah hari terakhir untuk menikmati pemandangan favorit saya, hampir mirip rasanya dengan patah hati.
Saat menyadari lagu dari saxophone berhenti, saya langsung menoleh.
Pemain saxophone itu tampak beristirahat, wajah tuanya terlihat sedikit lelah.
Saya tersenyum kemudian bangkit berdiri dan mendekatinya.
Hal yang tidak pernah  saya lakukan, paling-paling saya hanya memberikan beberapa uang koin dan berlalu.
Tapi entah mengapa rasanya sekarang saya ingin mengucapkan terima kasih kepadanya.
Terima kasih karna sudah menemani saya satu tahun terakhir ini.

"Halo." Sapa saya sambil memberikan sebuah senyuman paling ramah.
Dia membalas dengan senyuman yang tidak kalah ramah.
"Ada yang bisa saya bantu?"
"Saya mau mengucapkan terima kasih." Ucap saya sambil mengeluarkan selembar uang kertas dan memasukkannya ke kotak yang tersedia.
"Kamu menikmati permainan saya selama satu tahun terakhir ini?"
Saya tercengang.
"Kamu tau saya di sini?"
"Ya, saya tau kamu selalu duduk di bangku dekat sungai. Bermain musik di sini seperti mendapatkan pantulan balik dari telinga-telinga yang mendengarkan." Ucapnya masih dengan tersenyum.
Saya tertawa kecil.
"Ya, kamu benar, saya selalu suka dengan alunan saxophonemu. Kamu adalah pemain yang hebat! Dan saya pasti akan merindukannya"
"Maksudmu?"
"Saya harus pindah ke luar negeri besok. Pekerjaan. Dan rasanya benar-benar berat untuk berpisah dengan tempat ini."
"Kamu akan kembali lagi."
Saya menatap bingung. "Kembali lagi? Saya bahkan tidak tau."
"Entah bulan depan, tahun depan, atau 10 tahun lagi, tempat ini pasti akan menarikmu kembali. Saya tidak pernah melihat orang sejatuh cinta kamu kepada tempat ini, yaaa, selain saya tentunya." Dia tertawa lepas. Kerutan di matanya semakin terlihat jelas. Saya ikut tertawa.
"Kamu juga suka tempat ini?"
"Saya sempat tinggal di sini saat remaja, lalu pindah jauh selama bertahun-tahun. Sekarang setelah tua begini, saya kembali lagi kan ke sini, tempat ini seperti magnet."
"Ya, saya juga merasakan hal yang sama." Saya pun ikut tertawa.
"Saat kamu mencintai tempat ini, percayalah, tempat ini akan lebih mencintai kamu. Tempat ini punya segudang kejutan."
"Ya, semoga saya akan kembali lagi ke tempat ini. Sekali lagi, terima kasih ya."
"Selamat jalan. Saya akan kehilangan sepasang telinga pendengar untuk sementara. Semoga kamu beruntung!" Dia mengulurkan tangannya yang dibalas mantap oleh saya. 
Saya kemudian berbalik badan dan bersiap untuk berjalan pulang.
"Hei." Suara pemain saxophone itu memanggil lagi.
"Ya?" Saya menoleh.
"Satu lagi yang saya tau, setiap kamu duduk di bangku kesukaanmu itu, tepat dibelakangmu ada laki-laki yang selalu memperhatikanmu. Dia memandangmu dengan tatapan damai dan beranjak pergi saat kamu pergi. Seperti menjagamu."
"Laki-laki?"
"Kamu mungkin tidak sendirian, mungkin saja dia pengagum rahasia"
Saya tersenyum dan otomatis langsung menoleh ke tempat duduk favorit saya, mencari-cari laki-laki yang baru saja dibicarakan.

Ya, ada seorang laki-laki di sana. Sayang, dia langsung menolehkan wajahnya. Mungkin sadar mata saya hampir menabrak matanya.
Saya sungguh ingin menyapa dia, tapi lebih baik jika kami berpisah tetap sebagai orang asing.
"Oh, saya tau dia. Saya juga tau itu bangku favoritnya." Ucap saya lagi kepada pemain saxophone. Dia tersenyum, saya juga tersenyum. Mengubur nyali saya.

Saya bahkan selalu merasa saya transparan.
Tiba-tiba rasanya hari ini saya seperti sangat berarti.
Tiba-tiba rasanya hari ini saya menjadi sangat nyata.
Sampai jumpa,
Jika saya tidak terlalu jauh dan magnet tempat ini masih dapat membawa saya kembali.
....................................

Empat tahun sebelumnya.
Saya masih hafal wangi tempat ini. Saya masih ingat setiap hembusan angin yang mengisi celah dan sudut tempat ini.
Semuanya terasa seperti kemarin, tidak ada banyak perbedaan.
Tempat ini masih membawa setiap emosi yang disimpan, semua tangisan yang menguap secara ajaib, semua kata-kata yang diucap tanpa pendengar, semua pikiran-pikiran tidak berbentuk.
Tempat ini masih mengandung magnet yang sama, magnet yang bisa menarik saya.
Setelah menyelesaikan proyek terbesar saya, dengan begitu dermawannya bos saya mengirim saya kembali ke kota asal.
Aneh tapi rasanya saya harus pulang.
Aneh harus kembali.
Aneh melihat kota yang hidup jauh dari lamunan saya.
Hanya tempat ini.
Tempat ini yang membuat saya mau kembali ke kota ini. Tempat ini yang menarik saya untuk setuju pulang kampung. Setuju karna magnetnya cukup kuat untuk tidak bisa saya lawan.
Sambil membawa koper, tidak siap untuk pulang ke rumah, saya duduk di kursi favorit. Menikmati aura yang sama yang saya dapat saat saya menarik nafas, menyerap oksigen sebanyak-banyaknya dan membiarkan setiap kenangannya mengisi paru-paru saya.
Pemain saxophone itu tidak lagi ada. Kursi dibelakang saya pun tidak ada yang menempati.
Saya mencoba menikmati kenangan. Beberapa hal terasa berbeda, tapi dapat diatasi.
Saat seseorang pergi, dan memiliki sebuah keputusan untuk kembali, I'm sure there's no single thing that will stay exactly the same.
Saat itulah kenangan menjalankan perannya. Memutar sendiri di dalam pikiran.
Perlahan otak saya membuka ingatan yang bahkan saya tidak tau saya punya.
Saya dapat mendengar suara saxophone dari telinga saya sendiri.
Alunannya membawa saya mengingat warna-warna favorit saya di tempat ini.
Mengingat tenang yang selalu saya rasakan.
Saya memejamkan mata saya sesaat. Mencoba menghayati magnet yang membuat saya tergila-gila. Menyelami setiap keajaiban di saat-saat saya bisa tersenyum sendiri di sini.
Tempat ini begitu kramat untuk saya. Sihirnya bisa membuat saya lepas.
............
............
"Kamu kembali?"
Sebuah suara menyadarkan saya.
"Pemain saxophone itu meninggal satu tahun yang lalu. Sekarang tempat ini bisu" Suara itu berbicara lagi. Saya langsung membuka mata saya dan mencoba mencari pemilik suara tersebut.
"Saya membangunkanmu ya? Kamu benar-benar tertidur pulas tadi? Maaf, saya...."
"Tidak, sama sekali tidak. Saya hanya memejamkan mata"
"Kamu... tidak kenal saya ya? Maaf! Maaf! Saya hanya terlalu bersemangat kamu kembali. Ini cara yang benar-benar lame untuk berkenalan."
I can't help but smiling.
"Saya tau kamu. Bagaimana kamu bisa ada di sini?" Tanya saya.
"Saya selalu di sini, hanya saja hari ini saya datang telat. Bagaimana kamu tau saya? Bagaimana bisa?"
"Saya ingat semua bagian dari tempat ini. Dan kamu termasuk di dalamnya."
Dia terdiam sesaat. Kemudian membuka mulutnya sambil duduk di sebelahku.
“Saya tau kamu selalu duduk di tempat ini. Mungkin terdengar seperti stalker, tapi sebut saja… saya mengagumi kamu sejak dulu?”
"Ternyata masih ada ya pengagum rahasia di dunia ini? Saya kira sudah punah."
Dia tertawa.
“Saya juga tidak tau kenapa hal itu bisa terjadi, tapi kamu begitu unik. Kadang-kadang bisa bernyanyi sendiri, atau berbicara sendiri. Kadang-kadang menangis atau malah senyum-senyum sendiri. Kadang-kadang kamu seperti kosong, atau patah hati, tapi di lain waktu bisa semangat seperti anak kecil. Semuanya kamu lakukan sendirian. Bagaimana tidak unik dan menarik perhatian?”
“Kamu tidak pikir saya gila?” Saya menahan tawa.
“Sedikit.” Ucapnya sambil tersenyum. Lalu kita berdua tertawa lebar. 
“Saya tidak pernah punya keberanian untuk berkenalan sama kamu, rasanya terlalu film. Kejadian-kejadian seperti itu tidak terjadi di dunia nyata. Namun, tiba-tiba di satu hari kamu tidak datang, kemudian di hari berikutnya, dan berikutnya. Saya mulai menyesal. Namamu saja saya tidak tau.” Laki-laki itu masih tersenyum.
“Lalu kamu tetap datang ke tempat ini?”
“Tanpa sadar, saya juga jadi jatuh cinta pada tempat ini. Tempat ini terlalu indah, terlalu cocok untuk dijadikan foto-foto kalender.” Dia bergumam. Saya tertawa lagi.
“Sayang banyak yang berubah dari tempat ini.”
“Ya, tidak ada suara saxophone lagi, dan saya tidak duduk di belakang lagi. Saya malahan duduk di samping kamu sekarang.” Dia menjawab santai sambil tersenyum. Saya tertawa lebih kencang.
Biasanya saya selalu sendirian di tempat ini. Sekarang malah ada seseorang yang duduk di sini bersama saya. Dan kami berbicara. Anehnya, saya tetap merasa nyaman.
“Nama saya Angga.” Ucap laki-laki itu sambil memberikan tangannya.
“Nama saya Jessica.” Balas saya tersenyum.
Perkenalan paling istimewa di tempat favorit saya.
.........................................................

Hari ini.
Gaun yang saya pakai menjuntai indah ke lantai. Menyapu keramik-keramik di setiap langkah saya berjalan maju. Permatanya bersinar bergantian terpantul lampu kristal di tengah ruangan. Saya bisa merasakan jadi wanita paling cantik di antara 1000 orang yang ada di sini.
Laki-laki itu menggandeng tangan saya erat. Seperti takut bisa kehilangan saya kapan saja. 
Kami berdua berjalan keluar dari ruangan ini menuju tempat indah yang selalu menjadi kesukaan saya. Dan kesukaannya.
Sepatu hak tinggi ini membuat saya sedikit kesusahan berjalan, tapi kami tidak mundur atau berhenti.
Angga tampak begitu tampan dengan tuxedo hitamnya.
Dan tepat saat saya meletakan langkah terakhir saya, pria tampan itu menggendong saya menuju bangku favorit kami. Tamu-tamu berhamburan keluar. Berbagai macam suara musik mengiringi kami. Ini adalah pernikahan yang begitu indah.
Mungkin ini cara saya membayar hutang pada tempat ini.
Untuk segala keindahan yang telah dia berikan, saya balas menghabiskan hari terpenting, pernikahan indah ini, di tempat paling spesial.
Magnetnya tidak pernah kadaluarsa.
Setelah bertahun-tahun, segala kebahagiaan saya dan kenangan-kenangan saya tetap disimpan baik-baik di sini.
Dan menemukan seseorang yang akan menghabiskan sisa hidupnya bersama saya, saya kagum dengan cara tempat ini memberikan kejutan.

Sesaat, di selip-selip tawa dan senyuman, serta musik-musik meriah yang ada di sini, saya masih dapat mengingat kata-kata pemain saxophone itu
'Saat kamu mencintai tempat ini, percayalah, tempat ini akan lebih mencintai kamu, tempat ini punya segudang kejutan.'
Kebenarannya telah terbukti. Saya percaya ini adalah bentuk hadiah atau karma atau apapun itu atas apa yang sudah saya lakukan pada tempat ini. Mengagumi tempat ini.
Entah memang benar saya sedikit gila, tapi saya menemukan sedikit surga saya di sini.
Dan, cinta tersembunyi yang sudah direncanakan takdir.

Ya, patahan magnet ini seolah sudah merencanakan untuk mengembalikan saya ke tempat ini.

Tiara, Jakarta - Bantul - Jakarta

Sebenarnya apa yang kita cari? Rumah megah berhektar-hektar? Level tinggi kepopuleran dan undangan setiap malam? Pajangan berlian? Koleksi baju mewah dan label bermerek? Atau hanya satu tingkat istimewa dari prioritas seseorang yang paling spesial?

Make up-nya sudah separuh memudar, dan dia tidur di sisi saya dengan damai. Saya yakin dia pasti lelah setelah semalaman saya ajak ke dunia paling liar yang tidak pernah dimasukinya. Saat itu sekitar pukul 10.30 saat saya melontarkan pertanyaan paling gila. "Kita kabur, kamu mau?" Dan dengan mimik wajah kaget terpana, dia menjawab "Iya".
Satu kata yang akhirnya membawa saya ada di kereta ini dengannya.

Tujuan : Lebih dari sekedar kota kecil bernama Bantul, kami sedang menuju ke hidup paling bahagia yang akan kami ciptakan bersama.

Sebuah pertimbangan yang begitu matang. Keputusan yang telah memakan waktu tujuh tahun. Keputusan untuk menunjukkan tujuan mana yang akan kami ambil. Tujuh tahun dalam perasaan cinta diam-diam. Perasaan yang saya tidak mengerti malah ditentang orang-orang. Padahal yang ada hanyalah perasaan tulus yang menyempurnakan arti kata gratuit. Konsep cinta gratis tanpa balasan.

"Pagi" Dia terdengar berbisik serak. Matanya akhirnya membuka. Saya menikmati fenomena bulu mata yang lentik itu bergerak. 
"Pagi, Sayang" Ucap saya singkat, tidak ingin kata-kata menghancurkan momen langka ini. Menikmati wajahnya yang baru bangun tidur dan belum dibedaki lagi. Menikmati ciuman kilatnya di pipi dengan mulut belum sikat gigi. Dan make-up bekas semalam yang tidak sempat dihapus. Ini keindahan tanpa berpura-pura. Kejujuran paling kasat mata.
"Kita sudah ada di mana?" Ucapnya lagi. Suaranya terdengar sangat manis. Bergema di setiap sudut ruang otak saya. 
"Harusnya hampir sampai" Jawab saya pelan lalu mencium keningnya. Makhluk yang bersender manja di dada saya ini sungguh -sungguh makhluk langka yang begitu memukau.
Sebenarnya apa yang saya cari? Yang saya dapatkan? Atau mungkin yang saya rebut? Dia itu seperti tempaan permata yang indah tanpa pemilik.
Lalu kami kembali diam. Keheningan yang mewakili kata-kata yang tidak tercipta. Bukan hal yang baru kami begitu sering kehabisan bahasa. Mereka begitu terbatas untuk dapat menjelaskan apa yang sebenarnya manusia rasakan.

Tepat pukul 8 pagi kami akhirnya sampai di kota itu. Kota Bantul di mana teman saya menyediakan rumahnya yang bisa di pakai sementara. Saya tidak sabar hidup bersamanya. Tidak sabar untuk mencari pekerjaan, menabung sedikit-sedikit sampai bisa mengontrak rumah atau malah membeli sepetak tanah kecil.
Tiara menggenggam tangan saya erat saat berjalan menyusuri desa, berjalan menyusuri kehidupan baru kami. Seperti ketakutan tapi terlalu terlambat untuk melangkah mundur. Dan saya akan selalu ada untuknya. Kebahagiaannya adalah tujuan saya.
"Kamu tidak apa-apa?" Tanya saya pada Tiara yang terlihat berpikir keras.
"Tidak apa-apa, saya hanya ingat Ibu. Dia sudah berhenti menangis belum ya? Pasti dia langsung terpukul begitu tau saya kabur."
Saya menghela nafas. Entah mengapa rasanya separuh dari Tiara tidak ada di dalam tubuhnya. Tertinggal di kota metropolitan yang begitu semangat merebutnya dari saya. 
Saya egois? Anggap saja kali ini iya.

Kami berjalan melewati sawah dan akhirnya tiba di sebuah bangunan sederhana. Kandang sapi terlihat mencolok di balik bilik tua, rumah sementara kami. Tiara tersenyum sesaat lalu masuk ke dalam rumah tersebut, tapi saya tau, dia sedang meyakini hatinya.

Saya bisa lihat dia langsung mencari kamar untuk ditidurinya, mungkin masih ngantuk, tapi saya tau, dia hanya ingin menangis.

Apakah seorang manusia terkutuk untuk menjadi egois? Memperjuangkan cinta yang begitu nyata dan ingin terus bersama? Apakah Tiara harusnya ada di pelaminan bersama orang lain? Dan apakah saya hanya tidak punya hak untuk memiliki makhluk seindah Tiara? 

Saya kira setiap insan diciptakan berdua-berdua. Dan saat mereka sudah berhasil menemukan pasangan yang diciptakan bersama itu, tidak ada alasan bagi orang lain untuk bisa menentang.
Kenapa saya hanya tidak bisa menikmati cinta ini? 
Ya. Sejenak timbul pikiran itu, pikiran dimana mungkin Tiara memang bukan yang diciptakan bersama saya.
Tapi merasakannya ada dipelukkan, saya tidak yakin bisa ada wanita lain yang bisa sebegitu pasnya tertidur di dada saya. Tulang saya seperti meraung namanya. Saya hanya berharap tujuh tahun sudah cukup menjadi bukti saya menemukan orang yang tepat.

Menangislah sayang, lalu kamu bisa puas tidur sampai besok matahari sudah tepat di atas kepala. Saya mengelus rambut Tiara lembut.

*

Benarkah ungkapan itu? Menggenggam burung terlalu erat hanya akan membuat burung itu mati. Kadang saya berpikir ini adalah sebuah awal dari hasil penantian terpanjang saya. Namun, hanya butuh waktu 84 hari untuk menghancurkan tujuh tahun. 84 hari dikalikan 15 jam. 1.260 jam waktu yang dihabiskan Tiara untuk menangis. Haruskah saya terus menjadi egois?

Tiara duduk di pinggir jendela tanpa menyentuh makanan yang saya sediakan. Sesekali dia menengok ke arah saya dan tersenyum parau.
Saya tidak lain hanya menyiksanya. Hati saya seperti menjadi pemenang yang paling pengecut.
"Tiara." Panggil saya pelan dan duduk di sampingnya.
"Ya?" Jawabnya sambil menempelkan kepala mungilnya di dada saya. Sekali lagi perasaan itu ada, perasaan dimana saya merasa Tiara diciptakan memang untuk saya. Tapi, saya sudah memutuskan diri untuk berhenti jadi pemenang.
"Kamu mau pulang saja?"
"Tidak."
"Kamu tidak bisa terus di sini dan menangis. Kamu buang-buang air mata."
"Saya tidak menangis sekarang, rasanya air mata saya habis."
"Buat apa kamu ada di sini kalau kamu sebenarnya merindukan keluarga kamu?"
"Karna kamu ada di sini."
"Tapi bukan saya yang kamu butuhkan. Bukan manusia yang bisa memeluk kamu sekarang. Kamu tidak akan merasa cukup, tidak akan merasa aman."
Tiara terdiam. Saya mengelus pipinya lembut.
"Tiara, kamu tau kadang orang yang paling kita cintai adalah orang yang paling membahayakan? Dia bisa mengambil begitu banyak bagian dari diri kita. Menyita begitu banyak waktu. Dan menjadi orang yang paling berkuasa untuk membunuh kita pelan-pelan. Simpelnya, kita akan memberikan apapun, segalanya untuk dia. Mungkin itu sebabnya kita punya rasa ingin memiliki. Salah satu sisi paling egois semua manusia. Untuk menjadi yang paling dicintai. Karna saat kita tau bahwa kita dicintai sama besarnya dan memiliki bagian dari dirinya yang sama besarnya, saat itu kita merasa aman. Kita tidak terancam berantakan. Lalu apa jadinya jika tidak dicintai sama besarnya? Beberapa dari mereka munafik belajar untuk merelakan, yang lainnya tidak bisa menerima."
Tiara akhirnya membuka mulutnya "Maksud kamu menceritakan itu?"

Sejenak saya terdiam, memastikan saya tidak akan menyesal untuk mengucapkan lanjutan kalimat saya. Tiara menunggu jawaban saya. Satu-satunya yang terdengar hidup hanya jam dinding. Keheningan lagi-lagi menjadi soundtrack sementara.

"Saya mau kamu kembali ke Jakarta."
Wanita itu tersentak lalu mengangkat kepalanya dari dada saya, sekilas saya merasakan ada yang hilang.
"Saya benci sisi egois itu. Untuk membiarkan kamu di sini, memiliki kamu, sementara yang kamu butuhkan ada di kota itu. Keluarga kamu ada di sana, dan kita mungkin hanya sekedar cinta yang seharusnya tidak dipaksakan. Sekalipun saya tetap mau pelihara cinta kita, bukan ini jalan yang akan saya pakai. Saya lebih rela merasa ketakutan untuk berantakan seperti tujuh tahun kemarin, dibanding menjadi manusia paling buruk dan egois untuk mempertahankan kamu selama 84 hari ini. Sebut saya munafik, tapi ya, saya tidak butuh pengorbanan kamu yang sama besarnya. Saya tidak butuh dicintai kamu sama besarnya."
Air mata Tiara turun lagi. Saya langsung menangkapnya.
"Kamu belum kehabisan air mata, Tapi jika kamu menangis terus nanti bisa habis...."
Tapi, diam-diam saya juga tau bahwa menahan air mata sebanding sulitnya dengan menahan nafas. Hanya saja saya tidak ingin ada satupun air mata yang jatuh di depan Tiara, saya lebih memilih kesulitan bernafas. Saya dapat merasakan Tiara memeluk saya dan membasahi pundak saya dengan air matanya.
Dan sungguh, percayalah, melepaskan itu sama menyakitkannya dengan dilepaskan.

"Saya mau berhenti menangis." Balas Tiara pelan berbisik.

Butuh waktu 2 jam untuk menyiapkan segala kepulangannya. Jangan sampai seumur hidup untuk menyembuhkan lukanya. Saya memilih untuk tidak mengantarnya ke Jakarta, bisa-bisa saya batal rela melepaskan dia selama di perjalanan kereta. Tiara memeluk saya sekali lagi, pelukkan paling erat yang pernah saya dapat darinya. Pelukkan yang paling menyakitkan yang menyimpan makna selamat tinggal.
Butuh 44 menit menyadari dia sudah meninggalkan Bantul dan sekarang sudah duduk manis di gerbong-gerbong besi itu. Butuh 46 menit untuk membuat saya berbalik pulang dan berhenti berharap ada seorang wanita yang batal naik keretanya ke Jakarta.
Saya memandang stasiun ini sekali lagi sebelum beranjak pergi. Masih teringat 84 hari yang lalu saat saya datang dengan begitu tulusnya harapan.

Dan mungkin ini adalah cara yang paling tepat untuk melepaskan Tiara.
Menikmati sakitnya.

Apa yang kita temukan? Apa yang kita harapkan? Apakah sesuai? Atau ini semua hanyalah kumpulan rencana hukum bumi yang seharusnya terjadi?
Saya ingat senyuman wanita itu.
Sejenak saya merasa beruntung pernah menikmati senyumannya.

"Hati-hati ya sayang, biar berhenti kamu menangis, biar tidak habis persediaan air matanya, jangan bosan tersenyum, Tiara"


Tiara...