Sekumpulan bahasa pribadi.

Lalu bahasa hanyalah sekedar perantara.
Hati adalah sumber dari segalanya.
Tidak perlu dipahami, tapi butuh dirasakan.

Monday 28 November 2011

You


You are a best friend I have always been asking for.
The one who can lay down under the sky, even when there is no star to look at and talk about nothing.
The most visible person when every pain strikes down the blurry answers.
The countless smiles, unbearable talks, and personal jokes.
The craziest plans where nobody wants to be around.
The line of summer sun when the last snow of winter has melted.
The most beautiful shadow which appears to fight against the uncertainty.

You are a teacher I manage to hate.
The yelling to protect every soul I have not lost.
A deal not to be careless and despising days of falling.
Willingly sacrifice and block the most evil side I used to own.
The surprise feeling I found at the time you have never left me alone.
The gravity of arrogant thoughts which pour every inch of lesson I learn to dismiss.
The leading of imprecise imaginations and undo the suffering.

You are the lover.
The listener, the watcher, the shine of the moon, the first thought, the morning taste, the falling star.
You are the cure of a broken heart, broken brain, broken lungs, broken eyes.
You are the best scene of trying and the 'what I have gained and deserved' sense.
You are the sleepless nights and beats for every move.
You are the sight where I know that it is a place I just belong.
The hug for every teardrop, the operation of my spinal cord, impulses, muscles, and organs.
The irreplaceable tones of collected memories.

You are just too many words to describe.
No pages would fit to create these stories.
The paradox of expressing the feeling of gratefulness.
Just a simple truth for every moment I am awake.

Dear, thank you for being the gift in any perfection I can adore.
For the slightest hatefulness or arousing, I never survive to do it long time enough.
My addict to your comfort will always get me to reach it.
You are the simplest way to happiness, and always will be.
And for falling for you everyday, I am glad to have a chance to live normally.
The life anybody would have appreciated.

Thank you for being a best friend, a teacher.
The most of all is the lover I constantly fall in love with.

Wednesday 9 November 2011

Biru Muda (Bagian 2)


Hari ke - 1

Saya tidak tau bagaimana hal itu bisa terjadi.
Yang saya tau, saya hanya tertidur memejamkan mata, beristirahat dan bersiap-siap menjalani hari esok, menjalani hari lain bersamanya. Hari lain yang sudah terlalu biasa. Tidak ada lagi perasaan deg-degan atau jaga image pura-pura sempurna. Dia sudah seperti bagian dari hidup saya.
Namun, tanpa pamit, keesokkan harinya tau-tau dia sudah pergi.
Pergi untuk waktu yang cukup lama, sampai akan membusuk di bawah tanah.
"Sebuah tabrakan hebat menghancurkan tulang rusuknya di pagi-pagi buta."
Itu kabar yang mereka saling ceritakan.
Saya tidak tau apa-apa. Saya tidak tau kenapa tulang rusuknya bisa hancur? Tidak tau kenapa dia berhenti bernafas?
Yang saya tau, saya lupa mengingatkan betapa cantiknya dia.
Saya lupa mengingatkan betapa mempesona senyumannya.
Saya lupa mengingatkan bahwa saya mencintainya.
Kata-kata terakhir itu terucap lebih dari setahun tahun lalu.
Waktu yang tidak sebanding dengan lama kepergiannya.
Apa artinya setahun tahun dibanding selamanya?
Sekarang saya hanya bisa memandang benda dingin yang terbujur kaku dihadapan saya.
Benda dingin yang tidak akan lagi membalas tatapan saya.
Saya tidak tau bagaimana saluran air di mata bisa begitu sensitif.
Menangis adalah hal terakhir yang akan saya lakukan, tapi saya terlalu lemah.
Terlalu lemah untuk menahan semua penyesalan.
Seharusnya saya menjaga dia, menetapkannya di dalam peluk saya dan mengurung dia di kamar atas rumah saya hingga tidak dapat pergi kemana-mana.
... Atau paling tidak mengucapkan "I love you" padanya sebelum saya tertidur. Hal paling mudah yang entah kenapa selalu enggan saya lakukan. Padahal jika saja dia tau, saya mencintai dia sampai hati ini padat. Tidak ada ruang tersisa.
Tapi semuanya dibalas dengan satu kata.
Terlambat.
Dan saya hanya bisa menangis.
Memutar memori suara, tatapan, senyuman, apapun tentang dia yang tersimpan di sana.
Tapi, memori hanya akan tetap memori. Saya tetap terlambat.
Dan tidak ada satu orang pun yang bisa berargumen dengan waktu.
"I failed" ucap saya perlahan di telinganya sambil mengelus pipinya. Tapi tidak ada balasan dari benda ini. Bianca tidak lagi merasakan sentuhan saya.
Hanya tinggal bongkahan daging berkulit yang diisi formalin dan darahnya sudah membeku seperti masuk freezer.
Bianca, maaf saya gagal menjaga kamu.

Hari ke- 37

Saya dapat mencium wangi bunga Lily yang saya pegang. Mirip seperti wangi Bianca dengan parfum aroma Lily yang begitu disukainya. Mencium wangi bunga ini begitu dekat seperti mencium wanginya yang sedang memeluk saya.

Saya dapat melihat nisannya yang begitu mengkilap. Tampak masih baru dan rumputnya masih hijau. Perlahan saya meletakan bunga itu di situ. Biar dia tidak rindu pada wangi Lily. Saya tau seberapa besarnya dia menyukai bunga ini.
"Halo Bianca." Kata-kata yang sama yang selalu saya ucapkan padanya di tempat ini. Tidak ada kata-kata yang butuh dikatakan lagi. Dia saksi hari-hari saya. Saya tau dia ada di dekat saya. Sayang dia tidak terlihat. Tidak dapat disentuh.
Saya mengelus nisannya dan berbaring di rerumputan sebelah nisan itu, berharap saya dapat merasakan dia juga nyata tidur di sebelah saya. Tapi, dengan segala kenyataan yang ada, tubuhnya berada 3 meter dibawah tanah. Begitu banyak jengkal yang harus di deret. Padahal biasanya, dia tidak rela sejengkalpun membatasi kita.

Kenyataan adalah hal terkutuk yang begitu ingin saya hindari sekarang.
Saya memejamkan mata saya sesaat. Hal biasa yang saya lakukan setiap saya datang ke sini. Menikmati tempat istirahat Bianca. Apakah cukup aman dan nyaman? Dan ya, saya bahkan mau sekali bisa bangun rumah di samping kuburannya. Tempat ini terlampau tenang. Saya tidak butuh iPod atau dering apapun. Suara burung-burung di sini seperti satu untaian nada abstrak yang tersusun begitu indah.
Coba saja Bianca masih ada. Dia pasti suka dengar suara burung-burung ini. 

Sekarang kita berdua hanya berbaring di sini, terhimpit kenyataan dan tidak bisa lari ke mana-mana lagi. Saya bosan marah dengan kenyataan. 

Saya boleh tertidur ya?

Hari ke- 202

Saya lupa kapan terakhir kali saya bisa merasakan hal lain kecuali penyesalan. Dan hari ini, akhirnya saya menemukan satu bukti bahwa saya hidup.
Saya merasakan kemarahan paling hebat.
Maaf Bianca, saya benar-benar tidak dapat menahan kemarahan ini. Saya ingin berteriak. Saya ingin meraung-raung.
Saya lelah berantakan setiap hari.
Harusnya saya sudah marah dari dulu.
Bukannya kita berniat untuk saling mencintai sampai kita muak mencintai?
Sekarang perasaan ini masih meledak-ledak menuntut disalurkan ke pelukanmu.

Saya lelah menahan sakit kehilanganmu. 
Saya lelah menahan keping tubuh saya untuk tetap utuh.
Saya lelah, Bianca.
Saya lelah ditinggalkan bersama kenangan.
Hidup separuh sadar.
Raga saya tidak ada bedanya dengan daging kamu yang sudah membaur dengan tanah di bawah nisanmu.
Saya ingin marah, Bianca.
Saya ingin memaki.
Tapi saya hanya diam. Tidak ada satupun kata-kata yang keluar dari bibir saya. Kekuatan saya sudah habis untuk menahan semua luka.
Saya hanya bisa memandang foto kamu. Mencari nyamannya mata itu untuk menadahi perasaan saya yang meluap-luap.

Bianca, saya tau kamu ada di dekat saya sekarang. Saya tau kamu selalu ada di sini.
Hanya untuk sekali saja... Bantu peluk saya erat.

Hari ke- 486

Namanya Lily.
Pertama kali saya dengar namanya di ulang tahun teman saya beberapa bulan lalu, ada segelitik aliran listrik yang menyetrum dada saya. Hampir setiap hari saya membeli bunga Lily. Nama itu terasa menyatu dengan hari-hari saya.
Aliran listrik itu ternyata lebih terasa besar lagi saat saya lihat tatapan matanya.
Sungguh demi apapun juga, saya bisa lihat pandangan yang sama yang dimiliki Bianca.
Pandangan yang saya hafal setengah mati.
Wanita ini seperti belahan lain seorang Bianca.
Cara makannya, cara bicaranya, cara berjalannya.
Saya bisa merasakan Bianca nyata di dekatnya. Saya bisa merasakan kerinduan yang luar biasa sekaligus senyum tulus yang saya pikir tidak akan bangkit lagi.
Sejenak saya merasa terobati.
Merasa hidup.
Apakah ini bentuk Bianca menyembuhkan saya?
Dia tau saya kehilangan kemampuan untuk merasakan, apalagi mencintai.
Lily membantu saya membuktikan bahwa jiwa saya masih hidup.
Dan begitu kenalnya Bianca pada saya, dia tau saya tidak punya cukup hati untuk mencintai orang lain selain dirinya.
Dan wanita ini, seperti mengembalikan Bianca.
Seperti sebuah pelukkan yang datang terlambat. Pelukkan untuk menadahi semua cinta saya untuk Bianca.

Saya tersenyum sambil memandang Lily yang asik membaca buku di ruang tamu. Senyuman paling tulus yang terjadi pada saya sejak saya kehilangan Bianca.
Saya merasa membaik.
Bianca, saya bisa merasakan kamu ada, terima kasih ya.

Hari ke- 673

Hari ini cuacanya begitu bagus. Saya berjalan membawa bunga Lily sambil menggandeng tangan Lily. Katanya, Lily ingin bertemu Bianca. Wanita yang saya gila-gilai.
Dan hari ini, saya akan menunjukkan betapa cantiknya wanita itu.

Foto Bianca di nisan itu tetap terlihat manis. Walau sudah sedikit usam, tapi senyumnya masih tetap mempesona.
"Halo Bianca." Saya tersenyum lalu mengelus nisannya.
"Halo Bianca, kita belum kenalan ya? Nama saya Lily, kata Deryl itu bunga kesukaan kamu? Saya juga suka sama bunga Lily. Kamu apa kabar di sana? Bahagia di surga?" Lily memandang nisan Bianca sambil memberikan senyumnya. Senyum tulus yang begitu terpancar.
"Deryl hebat sekali loh! Dia lulus S2 dengan predikat Summa Cum Laude! Lalu belum lama ini, dia baru saja ditawari pekerja di UK sebagai Accounting Consultant sebuah perusahaan terkenal. Kalau saja kamu tau, kamu pasti sangat bangga. Lalu..."
"Dia tau." Saya memotong cerita Lily yang begitu bersemangat. Lily menengok ke arah saya dan mengerutkan keningnya.
"Dia tau semuanya, kamu tidak perlu menceritakannya lagi, dia tau selengkap-lengkapnya. Dia selalu ada di samping saya, Lily. Dia yang pertama mengucapkan kelulusan pada saya, dia yang pertama melihat nilai-nilai saya. Dia yang pertama mengucapkan selamat ulang tahun, selamat natal, selamat tahun baru. Dia tau semua yang saya alami. 

Menurut kamu kenapa saya cuma menyapa 'Halo Bianca' tadi? Saya bahkan tidak perlu menceritakan apa-apa lagi pada dia, saya yakin dia tau semuanya"

Sekarang pun saya juga yakin Bianca ada di sini.

"Saya bisa merasakan dia ada di dekat saya, saya tau dia seperti malaikat penjaga." Saya melanjutkan kalimat saya kemudian mengecup nisan itu pelan.
"Saya bisa lihat betapa besarnya kamu mencintai wanita ini. Saya yakin dia selalu ada bersama kamu." Lily ikut tersenyum.
"Saya mencintainya. Kata-kata yang saya lupa ucapkan padanya waktu dia hidup. Tapi saya yakin sekarang dia tau."
Penyesalan itu selalu ada, tapi perlahan memudar pelan-pelan. Mungkin saya tidak butuh penyesalan itu. Yang harusnya ada hanyalah tempat di hati saya yang akan selalu permanen untuk Bianca. Untuk tetap mencintainya di sudut hati saya.
Lily duduk menghadap nisan Bianca kemudian mengelus namanya.
"Bianca, dimanapun kamu sekarang, saya yakin kamu juga pasti dengar saya. Saya tidak tau apa kamu tau hal yang ini juga atau tidak, tapi saya mencintai laki-laki ini. Saya pasti jaga dia."
Saya bisa dengar kalimat itu terlontar tulus dari bibir Lily, saya yakin Bianca memberikan Lily yang bisa mencintai saya sama besarnya dengan dia.
Cuaca yang cerah ini mendadak begitu melankolis. Hujan gerimis turun sedikit-sedikit. Mungkin tanda dari Bianca kalau dia mendengarkan.
"Hujan." Ucap saya pada Lily pelan. Lily langsung menutupi kepala dengan tasnya.
"Deryl, yuk kita pulang, rasanya tadi cuaca sangat bagus."
Saya mengelus nisan Bianca sekali lagi,
"Saya pulang ya."
Hati saya tiba-tiba terasa hangat.

Hari ke- 1794

Saya tidak tau waktu bisa berjalan begitu lambat, dan bersamaan bisa juga terasa begitu cepat. Saya tidak tau susunan rencana yang datang dengan kejutan-kejutan itu. Tau-tau saya merasa siap. Merasa siap untuk memulai hidup baru. 
Merasa siap untuk menjadi seseorang yang baru. 
Merasa siap untuk melepaskan Bianca.
Walau seberapa sukanya Bianca tetap ada bersama saya, saya tau tempatnya bukan di sini. Harusnya dia sudah menikmati busa-busa awan yang selalu ingin dia gapai dulu.

Hari ini saya datang dengan pakaian terbaik saya. Pakaian terbaik selama saya hidup. Saya memilih bunga Lily yang paling besar dan indah, lalu saya beli sebanyak-banyaknya yang disediakan toko bunga itu.
"Halo Bianca." Saya hadir dengan senyuman paling lebar, senyuman murni yang menandakan saya sudah kembali utuh. Saya di sini untuk berterima kasih, sekaligus merelakan Bianca.
"Hari ini saya akan menikah. Tidak munafik, dulu saya pikir kamu yang akan saya tunggu di altar nanti. Tapi kamu malah tidak sanggup menghadiri pernikahan kita."
Saya duduk di sebelah nisan Bianca.
"Saya harap kamu baik-baik di manapun kamu sekarang, karna saya juga sudah sangat baik. Saya bisa merasakan kamu selalu ada di dekat saya selama ini, saya seperti mempunyai malaikat saya sendiri, terima kasih Bianca."
Saya memberikan sebuah kecupan manis di nisannya, semoga benar-benar tersalurkan kepadanya.
"Tapi... Apa kamu pernah berpikir, jika kamu terus ada di sisi saya, kapan kamu mau menikmati surga.....? Maka itu, pergi Bianca, pergi. Saya rela. Tenang saja, saya tidak akan berhenti mencintai kamu. Kamu hidup selamanya di sini" Saya menepuk dada saya pelan. Menunjukkan pada Bianca tempat namanya akan selalu ada.

Saya dapat merasakan cinta yang begitu mengajarkan. Bianca menjadi pelajarannya. Pelajaran untuk menghargai. Pelajaran untuk menghindari penyesalan. Dan terutama, pelajaran untuk menyembuhkan diri sendiri.

Terima kasih sekali lagi, sayang.
Terima kasih untuk semua kehangatan yang selalu dapat kamu ciptakan. Kamu permanen di hati saya.
*