Sekumpulan bahasa pribadi.

Lalu bahasa hanyalah sekedar perantara.
Hati adalah sumber dari segalanya.
Tidak perlu dipahami, tapi butuh dirasakan.

Friday 27 January 2012

Garis


Saya menatap dua pasang mata yang sedang terpejam nyaman. Rasanya, ada separuh hati saya yang dipegang mereka erat-erat hingga saya tidak bisa bernafas sekarang. Rasanya mereka mendominasi sebagian besar dari isi otak saya. Selain memikirkan mereka, sisanya hanya untuk menyimpan kenangan-kenangan yang tidak pernah sanggup saya lupakan. Mau itu senang atau sedih. Kebanyakan, tentang mereka.

Di luar kamar, berbagai pers dan media berusaha diam-diam mengambil gambar dari putri-putri cantik saya ini. Saya tidak suka saat mereka disorot media. Bukan hal yang membanggakan untuk saya. Saya hanya ingin hidup tenang dan normal bersama kedua anak cantik ini. Tapi saya tau, setelah mereka lahir, normal bukanlah kata yang tepat.
*
“Saya punya sebuah rahasia.” Ucap saya pada laki-laki tampan yang sibuk dengan hamburan kertas di atas meja kerjanya.
“Rahasia apa?” Tanyanya tanpa menatap saya.
“Kamu tidak mau tebak?”
“Saya sibuk sayang, apa yang mau kamu bicarakan itu penting?”
“Penting.” Saya berjalan ke samping meja kerjanya dan duduk di situ. “Untuk saya.” Lanjutku lagi. Alex akhirnya menyerah. Dia meletakkan pulpen yang dipegangnya dan menatap saya.
“Baiklah, rahasia apa yang ingin kamu bagi?”
Saya menaruh tangan saya di wajahnya. Rambut-rambut halus di pipinya sedikit menusuk tangan saya.
“saya mencintai kamu.” Jawab saya. Polos.
“Itu sebuah rahasia? Saya berani teriak bahkan untuk berkata itu.”
“Kamu mencintai saya?”
“Tentu. Kamu teman seumur hidup saya.”
“Saya hamil.”
Alex terdiam. Tidak membalas ucapan saya. Tidak melepas pandangannya dari mata saya. Sejenak saya tau otaknya dan hatinya sedang berusaha untuk mensingkronkan kerjanya. Itu yang saya rasakan saat pertama kali saya tau saya akan segera menjadi Ibu. Tapi, ternyata daya kerja kedua organ milik Alex lebih cepat beberapa detik. Dia sudah bisa kembali bersuara.
“Kamu tidak bercanda?”
“Saya sudah cek ke dokter.”
Perlahan saya bisa melihat senyuman laki-laki itu mengembang. Menggoreskan wajahnya dengan segaris lengkungan merah. Alex langsung bangkit berdiri dan menggendong saya keliling ruangan. Perasaan yang begitu indah dan berharga. Tidak semua orang mengerti rasanya.
*

Salah satu pasang dari mata itu terbuka pelan. Saya langsung mendekat padanya.
Hi baby....” Sapa saya lembut sambil mencium keningnya.
“Cia mau pulang, Ma....” Suara imutnya berbicara kecil. Saya langsung mengelus rambutnya dan memberikan tatapan khas Ibu yang baru saya pelajari setelah detik pertama saya melihat mereka di dekapan saya.
“Tidak bisa sayang, Fia masih sakit, dia tetap harus berada di sini........”
Saya bisa melihat mata putus asa dari mata indah itu. Saya tau dia lelah ada di sini. Saya juga. Kita semua lelah. Tapi, ini adalah jalan yang sudah terlalu jauh untuk melangkah mundur. Sudah terlalu gelap untuk melihat kembali persimpangan yang membawa kami semua ke dalam belokkan yang salah.

Operasi akan berjalan kurang dari satu jam lagi. Alex belum juga datang, padahal dia sudah janji. Laki-laki itu makin mirip bayangan. Datang di saat-saat tidak tentu dan meninggalkan di saat paling gelap. Saya merasa berjuang sendirian dan ini adalah tugas yang paling berat. Tugas yang kadang hanya terasa seperti mimpi buruk. Tidak jarang saat saya menutup mata, saya berharap hari ini adalah 7 tahun yang lalu saat Alex menggendong saya keliling ruangan. Saya mengerahkan seluruh tenaga saya untuk menahan sakit dan lelahnya. Coba saja waktu bisa berhenti saat itu.
*
“Maksud dokter apa?” Ucap saya bingung.
“Saya rasa, saya harus melakukan pemeriksaan lebih lanjut pada kandunganmu”
“Kenapa?” Alex akhirnya angkat bicara.
Dokter ini bangkit berdiri dan memperlihatkan hasil USG. Harusnya ini adalah saat dimana pasangan-pasangan lain saling berpelukkan dan mulai memikirkan nama bayi. Tapi, untuk kasus saya, kami semua kebingungan. Bukan bingung untuk nama-nama bayi, kami bingung makhluk apa yang ada di dalam rahim saya itu.
“Bayi anda berkelamin perempuan, detak jantungnya sehat.”
“Lalu apa yang dikhawatirkan?” Saya masih tidak mengerti.
“Saya menemukan sebuah kejanggalan. Tampaknya, bayi ini sebenarnya kembar.”
Mataku berbinar sejenak. Juga mata Alex. Tapi benar-benar sebuah binar sekejap.
“Bisa anda lihat di sini, kepala bayi ini ada dua. Tapi, jantung yang berkembang hanya satu.”
Kami semua hening beberapa saat. Pikiran saya masih mencerna kata-kata dokter yang seenaknya saja baru dia lontarkan tadi. Ada penolakkan besar dari telinga saya. Seperti menutup pelan-pelan, tidak mau mendengarkan.
“Maksud dokter, anak kami kembar namun yang satunya tidak berkembang?” Alex memecahkan keheningan.
“Saya mencurigai, dua-duanya berkembang menggunakan tubuh yang sama.”
Dalam empat detik saat dokter itu melepaskan kalimat yang saya tolak untuk dengar, dunia saya serasa hancur.
*
“Cia takut, Ma......” Suara malaikat kecil saya berbisik pelan. Saya hanya tidak bisa berhenti menciuminya.
“Mama di sini, sayang. Mama tidak mungkin meninggalkan Cia sama Fia sendirian. Nanti kalian bisa genggam tangan Mama terus. Mama akan bacain cerita buat kalian....”
“Ma, Cia gak mungkin ngerasain sakit kan kalo dokternya sentuh Cia nanti?”
“Engga sayang, kamu akan tidur dan mimpi indah. Anggap saja Cia sedang tidur siang. Nanti saat bangun, Mama sudah ada di samping kalian lagi.”
Mata indah itu mulai digenangi air. Saya tau dia ketakutan. Saya tau dia takut dengan segala macam kericuhan di sini. Dia hanyalah putri kecil berumur 6 tahun. Begitu banyak ketidaknormalan yang harus dia jalani.
Maafkan Mama, Cia. Saya mencoba habis-habisan menahan tangis. Di saat seperti ini, saya adalah satu-satunya orang yang harus jadi paling kuat.
Seorang suster masuk tanpa bersuara. Dia memberi isyarat pada saya untuk mendekatinya. Saya mengangguk pelan.
“Cia, sebentar ya. Mama bicara sama susternya dulu. Mama tidak lama sayang”
Gadis kecil itu membalas anggukan. Saya menghampiri suster di depan pintu kamar. Raut wajahnya kebingungan.
“Maaf, Bu. Tapi di depan banyak wartawan. Mereka ingin mewawancarai Ibu sepertinya.”
“Baiklah, saya keluar sekarang” Saya mengalah. Toh, mereka juga memang hanya melakukan pekerjaannya. Mengejar-ngejar berita tentang putri kembar siam yang sudah hidup selama 6 tahun.
Kira-kira ada 8 orang di luar kamar itu. Mereka langsung semangat saat melihat saya. Saya hanya menelan ludah. Coba saja semangat-semangat mereka bisa saya sedot dan saya salurkan ke anak-anak saya.
“Saya hanya akan buat pernyataan ini sekali. Dan tolong, sesudah ini jangan ganggu lagi. Di kamar itu ada dua orang gadis kecil yang butuh istirahat, dan seorang ibu yang tenaganya harus disimpan sebagai cadangan semangat mereka. Putri saya, Dafia dan Tycia, dilahirkan dengan salah satu kelainan langka yang disebut Paparagus Dicephalic. Hal ini membuat mereka harus berbagi tubuh yang sama. Bayi-bayi yang menderita kelainan ini tidak diperkirakan hidup sampai tahunan. Dan, ya, putri-putri saya sudah berusia 6 tahun sekarang. Hanya saja ironisnya, otak Dafia tidak berkembang seiring dengan berjalannya umur mereka. Dafia tidak bisa bicara selayaknya Tycia berbicara, maupun berkoordinasi dalam menggerakan tubuh mereka. Sampai akhirnya satu minggu yang lalu, dokter menemukan tumor di otak Dafia dan langsung menyarankan operasi. Jika tumor itu dibiarkan, bukan hanya Dafia yang sakit, Tycia pun juga dalam bahaya. Dua hari yang lalu, saya akhirnya memutuskan untuk mengikuti saran dokter. Mempertimbangkan segala resiko yang ada. Saat mereka masuk ke dalam kamar operasi nanti, bukan hanya satu putri saya yang hidupnya terancam. Tapi keduanya harus berjuang di ruang operasi itu. Keduanya mempunyai satu jantung yang sama. Hidup mereka adalah satu sama lain. Jadi saya hanya bisa berharap, jika kalian memang peduli, tolong jangan paksa saya bicara lagi. Karna ada sayatan perih setiap saya mengingat keadaan mereka yang akan masuk ke ruangan operasi. Dan saat saya kesakitan, saya tidak bisa membantu untuk membacakan cerita di samping tempat tidur mereka atau menggenggam tangan mereka saat operasi menjelang. Karna saya akan menangis. Dan saya tidak boleh menangis di depan mereka. Mereka butuh semangat. Jadi, bantuan doa mungkin sudah lebih dari cukup. Terima kasih” Saya menghapus air mata yang mengalir di pipi saya. Menghapus sekering-keringnya agar tidak ada jejak air mata yang tersisa.
Di antara keramaian itu, saya bisa melihat Alex yang berdiri di kejauhan. Tidak mendekat. Mata elangnya menatap saya tajam. Saya membalikkan badan saya dan menggantungkan tatapan itu begitu saja.
*
“Mereka cantik” Ucap saya sambil menatap kedua pasang mata yang begitu saya kenal. Mereka mengambil mata Alex. Mata indah yang membuat saya jatuh cinta pada pandangan pertama. Sama seperti perasaan saya pada mereka sekarang. Jatuh cinta pada pandangan pertama.
“Cara kamu melihat mereka benar-benar sudah seperti seorang Ibu.” Ucap suster di samping saya.
“Saya kira menjadi Ibu butuh les dan latihan.”
“Cara kamu mendekap mereka saja sudah layaknya Ibu. Dan tidak ada pelajaran untuk itu bukan? Langka juga orang yang bisa mengajarimu bagaimana caranya untuk menggendong bayi berkepala dua. Itu insting setiap wanita.”
Saya tersenyum sambil menimang kedua gadis kecil itu.
“Tadi waktu saya tidak sadar, apakah suami saya ada?”
Suster itu tampak berpikir sebentar.
“Rasanya ada. Tapi tepat saat anakmu sudah lahir, dia pergi lagi.”
Saya menghela nafas saya panjang. Sudah saya duga.
Semenjak kami berdua tau keadaan bayi ini, saya bisa merasakan suatu perubahan yang besar sekali. Perubahan yang disimpan di bawah kulit tanpa saling memberi tau satu sama lain.
Tapi, untuk pertama kalinya, hari ini saya tidak peduli jika Alex tidak ada di sini. Atau pergi dan kembali dalam waktu yang lama.
Saya punya dua malaikat kecil yang begitu cantik. Dan saya tidak perlu lagi rindu pada matanya. Ada dua pasang mata Alex di sini, saya bisa menatapinya terus tanpa bosan.
Dan untuk pertama kalinya juga, saat saya mendekap tubuh rapuh ini, saya mempunyai janji yang begitu kuat pada diri saya sndiri. Janji untuk membuat mereka bahagia bahkan di atas kebahagiaan saya sendiri.
*
Saya menciumi Fia dan Cia tanpa henti sambil berjalan mengikuti mereka yang didorong ke kamar operasi.
“Sebentar.” Ucap saya memotong perjalanan.
"Cia cape, Ma...." Suara Tycia berbisik.
“Cia, kamu dengarkan Mama. Apapun yang terjadi, Cia harus tau kalau Mama sayang Cia dan Fia melebihi apapun. Kamu adalah hadiah terindah yang pernah Mama dapat. Dan kamu begitu cantik sampai Mama sering kali tidak bisa berhenti memandang kamu. Kamu berjuang ya sayang di dalam sana. Kamu adalah anak yang kuat, Mama bangga akan Cia. Kamu akan bantu Fia untuk bertahan. Kalian akan saling berjuang bersama. Cia, kamu harus ingat, Mama sayang Cia. Mama tidak akan kemana-mana.”
Tycia mengangguk pelan dan mencium pipi saya. Saya harus bisa menahan air mata saya.
“Fia sayang, Fia dengarkan yang Mama bilang tadi. Fia juga harus tau bahwa Mama sayang Fia sampai Mama tidak bisa jauh-jauh sebentar saja dari kamu. Fia harus tau bahwa Mama sayang kalian berdua tanpa ada tandingannya. Fia harus berjuang di sana. Fia tidak boleh lemah karna Mama akan ada di sini menunggu Fia. Kamu adalah malaikat Mama sayang, malaikat Mama yang sangat cantik. Fia akan baik-baik saja. Mama ada di sini sayang.”
Saya menciumi kening Dafia. Dia memandang saya seolah memberi kata-kata balasan bahwa dia mengerti. Saya mengepalkan tangan saya. Berusaha kuat dan mulai berjalan lagi. Kami hampir sampai di batas perpisahan ruang operasi saat tiba-tiba ada sebuah tangan besar yang menggenggam kepalan tangan saya.
“Tycia, Dafia. Papa sayang kalian. Papa selalu sayang kalian. Berjuang ya di dalam situ.” Alex menciumi kedua putrinya lalu tersenyum ke arah mereka. Pintu ruang operasi pun di tutup. Menyisakan aroma sabun anak-anak milik Dafia dan Tycia yang menempel di hidung saya. Dan harapan yang mengambang di antara keraguan.
*
“Alex, kamu tidak mau memberikan ciuman selamat malam pada mereka?” Saya menyisir rambut saya sambil mendekati suami saya yang sibuk dengan pekerjaannya.
“Saya harus menyelesaikan laporan ini.” Balas Alex dingin.
“Mencium dan mengucapkan selamat malam tidak ada 5 menit kok.”
“Tolong.” Alex terdiam sebentar kemudian melanjutkan ucapannya. “Jangan paksa saya, Vania”
“Bukan saya yang memaksa kamu, tapi waktu, Alex. Anak-anak itu akan tumbuh besar tanpa tau bahwa ayahnya juga bisa memberikan ciuman selamat malam.”

Satu.. dua.. tiga.. sepuluh.. dua puluh.. empat puluh detik tidak ada yang berbicara.

Alex akhirnya menghela nafasnya.
“Saya tidak sanggup bertemu mereka. Atau berbicara pada mereka. Mereka seperti jarum yang meledakan balon impian saya.”
“Maksud kamu apa?”
“Saya begitu bahagia waktu tau kamu hamil. Saya menjaga kamu, Vania. Saya menyiapkan diri saya menjadi ayah yang baik. Lalu tiba-tiba anak yang begitu saya dambakan, lahir dalam kondisi yang begitu menyakitkan. Saya tau ini bukan kesalahan siapapun, apalagi mereka. Tapi, saya sesak setiap melihat mereka. Saya tidak sekuat kamu. Saya berusaha, sayang. Saya sungguh berusaha.”
Seketika saya meledak. Saya tidak dapat menahan tekanan lainnya lagi. Dan Alex mengecewakan saya.
“Kamu pikir saya tidak sesak? Kamu pikir cuma kamu yang punya mimpi-mimpi itu? Cuma kamu yang mempersiapkan diri menjadi orang tua yang baik? Saya juga berusaha Alex! Kita tidak seharusnya berhenti karena keadaan-keadaan ini. Kita tetap harus menjadi orang tua yang baik untuk mereka bukan? Kamu tidak seharusnya berhenti berusaha! Kita tidak akan pernah selesai dan berhenti berusaha untuk menjadi orang tua yang benar!” Saya menangis. Emosi saya meluap, sudah tidak ada tenaga lagi untuk menahannya.
“Kamu salah Alex…. Mereka begitu cantik… Mereka adalah keajaiban…”
“Saya takut, Vania…..” Alex menutup wajahnya dengan kedua tangan besarnya. Saya dapat mendengar dia terisak.
“Saya takut saat saya sudah terlanjur mengenal mereka dan mencintai mereka dengan hidup saya, mereka malah pergi dari saya…. Saya takut merasakan kecemasan setiap paginya untuk berharap mereka akan tetap hidup.”
Saya memeluk Alex erat.
“Saya merasakan itu… dan saya bertahan dengan kecemasan itu.. Tapi kamu juga bisa merasakan kebahagiaannya setiap pagi setelah tau bahwa mereka baik-baik saja.“
Alex balas memeluk saya erat. Kami berdua menangis.
Menahan sakit luar biasa yang tidak bisa diungkapkan kata-kata.
*
Tangan saya dan Alex masih bergandengan. Sudah 5 jam mereka berada di kamar operasi dan selama 5 jam itu pula lah kami berdua diam tanpa suara. Orang-orang berlalu-lalang ke sana kemari. Saya memperhatikan mereka satu-persatu. Bertanya-tanya apa kira-kira masalah terberat yang sedang mereka alami. Mungkin di antara mereka juga ada kekhawatiran yang sama besarnya seperti yang saya rasakan sekarang. Jam terus berdetak, membangun sebuah symphony indah yang saya rangkum sendiri dalam kepala saya. Mengalihkan pikiran dan kekhawatiran saya. 

Tepat saat saya hampir melepaskan tangan saya dari sela tangan Alex, pintu kamar operasi terbuka. Alex mempererat genggamannya dan membawa saya mendekati dokter yang keluar dari kamar operasi. Wajahnya begitu kusut hingga saya hampir memberhentikan langkah saya tanpa mau melangkah lebih jauh lagi. Saya tidak mau membaca raut muka itu. Saya tidak ingin menebak apa yang terjadi. Saya bahkan tidak ingin mendengar apa yang dokter itu akan sampaikan. Saya lebih memilih duduk di tempat tadi. Menunggu lagi sampai selama apapun itu.
“Dokter?” Alex langsung bertanya penuh harap.
“Terjadi komplikasi…” Dokter itu menggelengkan kepalanya pelan.
“Maksud dokter komplikasi?”
“Kami tidak berhasil memindahkan tumor di kepala Dafia. Aktivitas otaknya sudah tidak berfungsi.”
Benar. Seharusnya saya duduk saja menunggu di sana. Seharusnya saya tidak mendengarkan apa yang dokter itu ucapkan.
“Tycia… Tidak akan bertahan dengan keadaan Dafia sekarang. Kalian sudah tau resikonya bukan?”
“Ya, mereka adalah satu tubuh.” Saya menjawab datar.
“Dafia hidup melalui mesin sekarang, ada tube di tenggorokannya yang membantunya bernafas. Apakah kalian ingin melihat mereka sekarang?”
Alex mempererat genggaman tangannya kemudian memandang saya dengan mata paling familiar. Kami melangkah menuju kamar yang ditunjukkan dokter. Saya dapat melihat kedua putri itu tertidur damai di sana. Mereka terpejam seperti surga nyata di mimpi mereka. Anehnya saya tidak ingin menangis. Ibu mana yang akan sedih melihat anaknya terpejam begitu damai. Alex juga tidak menangis. Dia tersenyum.
“Mereka begitu nyaman.”
Saya setuju.
“Jadi… saat tube itu di lepas dari Dafia, dia akan pergi?” Saya bertanya tenang.
“Ya..” Balas dokter itu.
“Dan jika Dafia pergi.. Maka, Tycia akan menyusul?”
“Ya…” Dokter itu menjawab sekali lagi.
Saya membelai lembut putri-putri itu. Ada sebuah perasaan ajaib yang melekat dalam setiap sentuhan. Sel-sel tangan saya mendadak merasa hangat dan waktu terasa simpatik, detiknya berjalan pelan sekali. Saya memperhatikan setiap inci wajah keduanya. Menyimpan segala gambaran tentang mereka sebanyak-banyak otak saya dapat menampungnya. Mungkin ini waktunya. Segala perjuangan terbayar selama ini. Mereka bisa tidur nyenyak, dan saya tidak lagi khawatir mereka akan kelelahan berjuang. Saya mati-matian memaksa mereka melawan segala hal yang membatasi mereka untuk hidup. Tapi, harusnya saya sadar, mereka hanya ingin tidur tenang. Mereka tidak sanggup lagi membuat keajaiban-keajaiban itu. Dan ini adalah sebuah batas perjuangan. Mereka terlihat bahagia. Itu adalah segalanya. Saya harusnya sudah memikirkan hal ini.
"Dokter, boleh tinggalkan saya bersama mereka? Saya ingin bersama keluarga saya saja." saya tidak melepaskan tatapan saya dari anak-anak itu. Dokter itu mengerti. Dia meninggalkan kami berempat dalam ruang keputusan yang mulai membulat.
*
Saya baru saja naik dan membawa bohlam lampu tidur yang baru ke kamar Cia dan Fia. Baru sampai di pintu kamar mereka, saya bisa lihat lampu tidur mereka sudah kembali bersinar. Saya mengintip sedikit dan menemukan Alex di situ memandang ke arah kedua putrinya. Tangan besarnya perlahan membelai pipi mereka bergantian. Dia tersenyum memandang keduanya tertidur kemudian mencium mereka satu-persatu. Ada sebuah kehangatan yang meraba dinding hati saya. Saya tidak akan mengganggu momen itu.
*
“Saya pernah berjanji pada diri saya sendiri saat mereka lahir.. Saya berjanji untuk selalu membahagiakan mereka bahkan jika itu harus melebihi kebahagiaan saya sendiri.” Ucap saya pada Alex.
“Kamu sudah membahagiakan mereka.”
“Belum” Saya melepas genggaman tangan Alex dan berjalan mendekati putri-putri itu.
“Ada satu kebahagiaan lagi yang belum mereka dapatkan.”
Alex terdiam. Dia tidak ingin mengganggu momen ini.
Saya mencium kening Dafia dan Tycia lalu berbisik “Mama cinta kalian berdua.. Tidur tenang ya sayang.”
“Alex, ini bentuk kebahagiaan yang mereka pantas dapatkan. Tidur senyaman ini tanpa perlu ketakutan lagi. Dan saya harus membiarkan mereka merasakan kebahagiaan itu walaupun di atas kebahagiaan saya bukan? Boleh kita lepas tabung Dafia?”
Alex menghampiri saya dan memeluk saya juga kedua putrinya.
“Terima kasih.” Bisik saya pada Alex.
*
Alex mencari jemari tangan saya dan memasukkannya di sela tangannya. Seperti yang selalu dia lakukan dari pertama kali kami bersentuhan.
Kami memandang Dafia dan Tycia sambil mendengarkan detak jantung mereka yang semakin melambat.
Perlahan…
Melambat…
Sampai monitor akhirnya menunjukkan garis panjang dan lurus.
Saya bisa lihat mereka pergi dengan indah. Bentuk kebahagiaan yang tidak ada tandingannya.