Sekumpulan bahasa pribadi.

Lalu bahasa hanyalah sekedar perantara.
Hati adalah sumber dari segalanya.
Tidak perlu dipahami, tapi butuh dirasakan.

Sunday 18 March 2012

Rangkuman Musim

Saya kembali diam seribu bahasa. Tidak ada kata yang bisa diucapkan lagi.
Tidak ada kalimat yang bisa dirangkai lagi.
Mungkin ini implikasi paling tepat yang menggambarkan sepi di tengah keramaian.
Saya memejamkan mata saya, kali ini lebih rapat dan rasanya ingin tetap tertutup seperti ini.
Membiarkan separuh pikiran saya terbang dibawa angin ke tempat kenangan terkumpul.

Melbourne.

Musim Gugur tahun 2011
Suhu : 18 derajat celcius
Cuaca : Berangin sejuk

Musim gugur selalu menjadi favorit saya.
Bukan hanya angin sepoi-sepoi yang lewat mengelus dagu, tapi juga daun-daun kering pohon maple yang berjatuhan dan menutupi pedestrian.
Saya diam-diam punya keinginan untuk berbaring di antara tumpukkan daun-daun itu.

Tapi hari ini bukan hari yang tepat untuk

bersantai-santai atau melamun tidur-tiduran.
Saya malah harus menunggu klien penting untuk proyek besar saya. Sudah lewat tiga puluh menit, dia belum datang juga. Benar-benar tidak profesional. Jika ini bukan untuk kepentingan karir saya ke depannya, saya pasti sudah membantah perintah bos. Saya tidak dibayar untuk menunggu orang. Budaya orang Indonesia memang tidak lepas dari kata 'telat'. Tapi saya pengecualian, tepat waktu adalah poin utama untuk saya.

Saya masih menulis-nulis journal, sambil menunggu orang-yang-wajahnya-saja-saya-tidak-tau. Berharap waktu cepat berlalu dan saya langsung bisa kembali ke kantor. 
Tugas saya masih menumpuk, masing-masing berebutan perhatian saya. 
Saya hanya bisa mengalihkan pikiran sekarang. Di kejauhan, saya melihat sepasang laki-laki dan perempuan yang sedang berbagi cerita. Juga ada sepasang orang tua yang masing-masing membaca koran. Dan seorang laki-laki tampan yang celingak-celinguk kebingungan berjalan ke arah saya. Saya mengerutkan dahi dan bertanya-tanya dalam hati.

"Keshia?" Dia menyapa saya takut-takut.
Ternyata ini orangnya. Saya sudah siap marah, tapi seperti ada sponge basah di hati saya yang menyerap kesal.
"Ben?"
"Iya, aduh maaf banget ya Kesh, tadi saya sudah cari-cari Federal Coffee di sekitar Swanston StreetI don't know that it's a block away"
"Never mind, kamu bisa pesen kopi dulu kalo mau."
"I don't drink coffee, tapi mungkin saya bisa pesen hot chocolate, sebentar ya?"
Saya terdiam sejenak, baru kali ini saya dengar statement 'I don't drink coffee'. Selama ini orang-orang yang saya tau, hampir semuanya tergila-gila dengan kopi. Itu adalah salah satu ciri khas kota ini bukan? Dia pasti bukan dari sini, ke tempat ini saja bisa kesasar.
"Iya, kamu pesen aja dulu" Saya tersenyum menjawab pertanyaannya.
Laki-laki itu bangkit berdiri dan berjalan membelakangi saya.
Punggungnya begitu lapang dan tegap, polo shirt yang dia pakai terlihat membentuk punggung itu dengan baik. Saya tidak tau kalau ternyata klien penting saya itu masih muda.
Tidak lama dia kembali dengan nomor meja dan melanjutkan pembicaraan.
"Saya baru di Melbourne, actually this is my first week. Kamu sudah lama ya di sini?" Dia
membuka bahan pembicaraan yang lebih terdengar seperti pengakuan.
"Since high school, it's been 8 years now. Kamu berarti dari Indonesia?"
"My parents are, cuma saya tinggal di Seattle for almost 20 years, karena proyek kita ini, saya dikirim ke sini. Saya harap saya gak susahin kamu ya selama di sini."
"It's okay, I'm glad to help" Balas saya.

Dan perbincangan yang saya ingin cepat selesai, berlangsung sampai ke jam-jam berikutnya.
Simply karena Federal Coffee dan Ben terasa lebih menarik dibanding tugas-tugas saya.

Musim Dingin tahun 2011
Suhu: 8 derajat celcius
Cuaca: Mendung berangin

Saya lelah tertawa tidak berhenti. Orang ini patut diberi penghargaan.
Rasanya sudah satu dekade saya tidak tertawa terbahak-bahak seperti itu.
Pertemuan di Federal Coffee berlanjut menjadi pertemuan harian di sekeliling kota ini, dan tidak ada yang lebih indah dari Melbourne selain menikmati kecantikkannya.
"Iya kan, Yarra at night itu luar biasa indahnya." Saya memandang sungai di depan saya yang penuh dengan pantulan cahaya gedung. Ben mengangguk setuju.
Dia tampak terpukau dan terpesona.
Saya sendiri saja yang sudah melihatnya ratusan kali masih tetap tidak bosan.

Perlahan saya melirik jam tangan: 9:59 pm
"Ben, sebentar lagi!"
"Sebentar lagi apa?"
"Tunggu saja satu menit, you'll be surprised!"
Ben memandang saya bingung, lalu melihat sekelilingnya.
"Ada apa sih?"
"Wait..."
"Okay."


Satu menit ini terasa begitu lama, tapi begitu balok-balok besar di pinggir Yarra mengeluarkan satu lecutan api, saya reflek langsung menarik bahunya. Balok-balok itu menyemburkan api ke langit hitam berawan. Saya bisa lihat Ben menganga kaget. Api-api itu tidak berhenti keluar sampai saya merasakan kehangatannya menyelimuti segenggam tangan saya. Saya menengok ke arah kehangatan itu. Bukan semburan api di balok-balok Yarra yang membuat genggaman saya hangat.


Tapi tangan besar seorang laki-laki di sebelah saya yang menggandeng erat jemari saya.

Musim Semi tahun 2011
Suhu: 16 derajat celcius
Cuaca: Hujan gerimis

Saya melihat tetesan demi tetesan air yang jatuh dari atap jendela kantor saya.
Hari ini rasanya semangat saya minus.
Mungkin karena Ben dan saya sedang sibuk dengan pekerjaan kantor kita berdua, sehingga tidak ada kualitas waktu untuk cinta kami yang sedang berbunga-bunga.
Kupu-kupu di dalam perut saya begitu lesu tidak bertemu dia.
Berulang kali saya melihat jam meja kantor saya: 4:35 pm
Berharap secara ajaib waktu telah melompat 25 menit lalu saya bisa langsung pulang.
Otak saya tidak berfungsi dengan baik selain memikirkan Ben.
"Kesh." Teman saya tiba-tiba mengagetkan dari belakang.
"Someone left this outside." Dia menaruh satu buket mawar putih di atas meja kerja saya yang
berantakan. Saya tertegun sesaat.
"Whose flowers?" Hanya dua kata itu yang bisa keluar dari mulut saya.
"Yours." Dia langsung berlalu sambil mengedipkan sebelah matanya.

Saya mengambil kartu yang terselip.

These flowers glow as much as you do, love

Saya tersenyum sesaat. Saat yang terlalu tepat.
Ben hanyalah hadiah yang datang tiba-tiba di saat yang tepat.

Mungkin butuh lebih dari 25 menit waktu yang saya habiskan untuk memandangi bunga ini satu persatu.
Tapi akhirnya saya putuskan untuk menundanya sebentar dan melanjutkan bersenang-senang di rumah. Waktu akhirnya berjalan juga.
Basement dan mobil sudah menunggu saya.
Dan sedetik setelah saya memasuki mobil, saya merasakan suatu kejanggalan.

Bunga itu bersinar. Ya. Bersinar.

Rupanya ada kawat-kawat kecil tipis di sekeliling bunga itu yang menyala dalam gelap.
Saya terdiam beberapa menit memandangi mawar putih itu. Tersadar, saya langsung menyetir pulang dengan cepat, tidak sabar ingin berganti pakaian kerja saya yang bau apek dengan pakaian manis, lalu datang ke rumah Ben. Tidak sabar ingin memandang wajahnya yang begitu menempel pada otak saya.

Tidak sabar ingin melihat senyumnya.

Baru saja mobil saya berhenti di depan apartemen, saya sudah bisa menangkap punggung besar orang yang membuat kupu-kupu-di-perut-saya-berterbangan-meriah berdiri gagah di depan pintu masuk lobby.

Saya tersenyum lebar. Highlight hari saya hari ini.
Saya langsung tidak sabar memeluknya.


Musim Panas tahun 2011
Suhu: 39 derajat celcius
Cuaca: Panas terik

Lagi-lagi handphone Ben tidak aktif.
Kami tidak bosan-bosannya bertukar kesalahan.
Kemarin dia marah karena saya tidak bisa dihubungi.
Sekarang, lagi-lagi dia juga tidak bisa dihubungi.
Kami berdua terlalu kelas kepala. Terlalu ngeyel. Dan sama-sama manja.
Ini sudah pertengkaran yang kesekian kali, tapi tetap saja kesalahan yang itu-itu saja yang
diributkan.

Saya pusing dengan pekerjaan saya.
Dia pusing dengan pekerjaannya.

Kami berdua sama-sama minta pengertian.
Kami berdua sama-sama saling menuntut pantas mendapatkan yang lebih baik.

Hari-hari indah seperti sudah berakhir.
Setelah keduanya sama-sama sudah melalui puncak jatuh cinta.
Maka hanya ada dua pilihan: 1) Cinta itu stabil. 2) Cinta itu menurun.

Setelah melalui puncak jatuh cinta, seperti ada perasaan untuk berhenti berusaha.
Padahal itu salah. Cinta itu dinamis. Berubah di setiap kesempatan.
Harus terus ada usaha. Akan terus ada pengorbanan.
Itu adalah siklus yang seharusnya tidak pernah berhenti.
Namun, sering kali manusia sudah terlalu lelah untuk berjuang, kadang.. sudah terlalu nyaman. Tapi, lagi-lagi itu salah. Perasaan nyaman juga dinamis.

Saya benci saat-saat saya dan Ben berargumen, kami seperti bukan diri kami, atau-malah-diri-kami-yang-sesungguhnya, kami berlomba untuk menyakiti yang paling hebat.
Dan tidak ada lagi kejutan, tidak ada lagi kupu-kupu.

Semuanya berjalan begitu membosankan.

Ini adalah momen dimana 'bersama: terlalu tidak cocok,
berpisah: terlalu tidak sanggup.'
Masa transisi yang paling menyakitkan.
Satu detik bisa bertanya-tanya 'Bagaimana mungkin saya masih bertahan dengannya?'
Di detik lain berpikir 'Saya tidak bisa kehilangannya.'
Saya yakin bukan hanya diri saya yang merasa hal ini.
Saya yakin dia pun tau seperti saya merasakan.

Mungkin sudah seharusnya ada keputusan, sebelum keduanya saling menghambat satu sama lain.

Musim Gugur tahun 2012
Suhu: 17 derajat celcius
Cuaca: Sejuk, berangin


Saya masih ingat satu tahun yang lalu di tempat ini saat pertama kali saya mengenal seseorang yang begitu berarti.
Melbourne dan Federal Coffee menjadi saksinya.

Daun-daun coklat sudah berkumpulan di sisi-sisi jalan raya. Dan sekali lagi, saya merasakan perasaan senang tahunan.
Perasaan favorit di musim favorit saya.
Keindahan kota ini yang luar biasa.


Ben datang dengan setelan jas kantornya yang entah mengapa tampak lebih tampan dari
biasanya.
"Saya tau apa yang mau kamu bicarakan."
Kalimat pertamanya saat menyapa saya. Saya mengangguk. Tentu saja kamu tau.
"Kita bicara sambil jalan mau?"
Ben tersenyum lalu mengulurkan tangannya di depan saya.
Saya mengambil tangan besar itu dan mengaitkannya dengan tangan saya.
Rasanya masih teringat jelas genggaman hangat pertama musim dingin tahun lalu.
Sayang, kehangatannya tidak lagi sama sekarang.


Kami berjalan pelan-pelan tanpa mengucapkan satu kata pun.
Seperti sedang sibuk menikmati momen terakhir antara kami berdua.
Keputusan kami sudah pasti. Tapi mulut kami hanya masih terkunci.
Kami berkomunikasi melalui kenangan.
Hanya itu yang bisa menyatukan pikiran kami sekarang setelah selama ini terlalu berbeda.

Malam ini, Melbourne terasa berbeda. Ada satu bagian darinya yang hilang. 
Saya tidak tau apa. Tidak mau tau apa. Atau, mungkin sebenarnya tau, tapi tidak mau mengakui. Mungkin hanya butuh waktu.
Bagaimanapun, keputusan ini adalah yang paling tepat.

Kami akhirnya berhenti berjalan.

Termenung sesaat.

Memandang satu sama lain,

Lalu tersenyum.

Kami sudah mencurahkan seluruh isi hati yang ada. Sekarang adalah waktunya.
Ben memeluk saya erat. Begitu erat. Saya membalas pelukkan itu sama eratnya.
"Take care." Suaranya berbisik manis di telinga saya.
"Ya, you too" Balas saya.

Kami saling melepaskan pelukkan itu.
Mungkin ini adalah perpisahan untuk kami.
Walaupun hati saya rasanya sama teririsnya dengan tatapan mata Ben.
Tapi ini adalah yang terbaik.
Kami hanya belum cukup mengisi satu sama lain.

Ben membalikkan tubuhnya dan berjalan menjauhi saya.
Saya memandang punggung itu sekali lagi, sampai puas sehingga saya tidak perlu merindukannya.

Saya kembali diam seribu bahasa. Tidak ada kata yang bisa diucapkan lagi.
Tidak ada kalimat yang bisa dirangkai lagi.
Mungkin ini implikasi paling tepat yang menggambarkan sepi di tengah keramaian.
Saya memejamkan mata saya, kali ini lebih rapat dan rasanya ingin tetap tertutup seperti ini.
Membiarkan separuh pikiran saya terbang dibawa angin ke tempat kenangan terkumpul.
Kenangan yang begitu indah untuk diingat.
Dan saya belajar dari memori-memori itu, bahwa kepingan hati kami memang tidak muat.
Cinta kami terlalu dinamis, terlalu cepat berubah.
Tapi Ben adalah satu bentuk pelajaran yang tidak bisa digantikkan.

Bahwa mencintai seseorang akan terus membutuhkan usaha.

Sekali lagi saya menghirup udara malam Melbourne sebelum memutuskan untuk melangkah maju.
Tanpa saya sadar, rupanya sudut-sudut Melbourne menjadi sangat berarti.






Friday 16 March 2012

I'm part of you definitely

It is an example of beauty to have to know that along this way I have learned the unpaid experience: Broken Heart.
And never once I regret the road I have taken.
Mostly because it has taught me that luck has nothing to do with love, but simply because heart tells us where to go.
Put aside all of the sadness I used to bear, can people see the silver lining?
To have someone that you can hold everyday, to freely express the dynamite of love, to feel so much love taken and given,
That is quite a form of silver lining I am talking about: You feel no greater than to love someone completely.

In every thought of you, it truly changed my perspective of how relationship should work.
There should have never been someone who only gives and never takes, neither vice versa.
It is worth both efforts, for each self will attempt to make each other happy.
It is the creation of equal love that no one has to hurt, or be hurt.
And, to them who can speak and hear with no hesitance.

For every teardrop and lonely night, I can say how thankful I am for what I have been through.
Then now I appreciate every good-night-s saying and I-love-you-s
The words I might crave for the rest of my dreams.
You just show up at the most perfect time : After I learned how loving someone means that it is possible to lose him.
And after I see clearly that a person like you deserve the greatest love anybody could offer.

To be completed, it is to be with you.
More than that, to complete you, I offer that kind of love.