Sekumpulan bahasa pribadi.

Lalu bahasa hanyalah sekedar perantara.
Hati adalah sumber dari segalanya.
Tidak perlu dipahami, tapi butuh dirasakan.

Tuesday 25 March 2014

Good Night

Dear Bryan,

It has been 300 days since the last time I heard your voice. 
You called me to wish a Happy Birthday.

I kinda hope you still remember what I sound like or that'd be no fair.
Because sometimes I still think of you before I go to sleep.
Even sometimes my brain still perceives your name and I'll miss you all over again.

I sometimes go to places we used to go and I will take a moment just to enjoy the silence of not hearing your voice next to me.
I sometimes sit on the same bench that used to be your favourite spot.
I sometimes gaze at the stars and imagine if you were there to witness it with me.

Funny right?
How you've sometimes affected my life after you left

But, don't worry.
I've moved on. 

I don't even know why I should move on. 
Nothing ever happened between us anyway.
Except for the feelings that were meant to be hidden away.
And, simply because remembering you hurts me enough.

But I guess it's getting better now.


However, the day after tomorrow is my wedding day!
This probably will be the last letter I write for you.
I am entering a new life, I am leaving us behind.
Sorry I'm not inviting you!

I fear that if you're here,  
There's always a possibility for me to run away with you.

But after tomorrow, I should promise my self that you will no longer affect me.

So, I think it's time to stop counting days.
Days where I haven't seen you or talked to you.
Because as much as I want you to stay in my life or, at least, in my mind,
I'll marry someone else and I'll build a life with him.

William has been good to me, you know him.
So, I'm sure I'll be okay

I guess this is it.
No more a Good Night, this time it's a Good Bye.
I hope you've found all the good things in your life now.
And you can wish me a lifetime of love and happiness

With love,
Mary


*

Jakarta, 26 July

20:00

Seratus Dua Puluh Tujuh.

Jumlah orang yang saya salami malam ini, dan itu baru satu per delapan orang yang akan saya salami besok lusa.
William terlihat sangat prima dengan tuxedo hitamnya, juga dengan senyuman yang terpasang di wajahnya dalam dua jam ini.

Malam ini rumahnya kedatangan tamu dari keluarga besar saya dan William. Untung saja seratus dua puluh tujuh orang ini terjamu dengan baik dengan hidangan istimewa yang disiapkan keluarga William sebelum melepas anaknya untuk menempuh hidup baru dua hari lagi.


William masih menggenggam tangan saya ketika dia bertanya satu hal yang membuat saya tidak tenang malam itu.

Dan pertanyaannya, merupakan awal dari hal tidak waras yang selanjutnya saya lakukan dalam tiga puluh enam jam ke depan.

"Kamu yakin benar-benar tidak mau mengundang Bryan?"


Saat itu, saya mengangguk sambil tersenyum. Tapi rasanya hati saya berdetak tanpa aturan.

Dan saya tidak suka perasaan ini.
Segala yang saya inginkan hanya tidak mendengar namanya.
Dimanapun.
Di sekitar saya, maupun di pikiran saya.

Enam menit setelah pertanyaan itu, saya habiskan dua puluh dua menit untuk terdiam di tepi kolam renang di belakang rumah William.


*


Jakarta, 26 July

20:28

William menghampiri saya dan duduk dengan satu kaki terjulur ke dalam kolam renang. Wajahnya terlihat lelah, tapi dia masih menyambut saya dengan senyumnya. Saya melemparkan senyum balasan ke arahnya.


"Kamu lelah ya?"


"Saya sedang berpikir" Saya meletakkan kepala saya di bahunya.

"Kamu tau kan kamu bisa cerita apa saja, buat apa berpikir sendirian padahal saya akan membagi hidup saya sama kamu sebentar lagi?"


Saya terdiam untuk beberapa saat sebelum akhirnya merangkum apa yang saya pikirkan dalam permintaan. 

Hal tidak waras saya sudah dimulai.

"William, ada satu hal yang saya ingin lakukan. Dan saya rasa, saya harus melakukan ini. Sebelum saya benar-benar akan janji sehidup semati sama kamu"


"Kamu ingin melakukan apa?" Saya bisa melihat raut wajah William berubah. Rasanya dia tau bahwa hal yang akan saya lakukan tidak akan terdengar normal.


"Menyelesaikan perasaan hati yang belum selesai" 


William terdiam. Mungkin diamnya diselipkan kecewa. Siapa yang tidak akan kecewa jika mengetahui calon istrinya yang dalam dua hari lagi akan mengucap janji bersama selamanya,


ternyata punya perasaan hati yang belum selesai.


Tapi dia mengangguk dan mengucapkan satu syarat,


"Tapi kamu harus kembali, ya?"



*



Tiga puluh tiga menit yang saya habiskan untuk mengendarai mobil ke Bandara Internasional Soekarno Hatta.


Empat puluh satu menit untuk mencari tiket dengan penerbangan paling cepat dari Jakarta menuju Auckland.


Satu jam dan lima belas menit untuk menunggu keberangkatan pesawat.


Empat belas jam dan dua puluh tiga menit untuk mendarat di Bandara Internasional Auckland.


Waktu setempat menunjukkan pukul tujuh lebih tiga puluh dua menit di malam hari dengan perbedaan waktu enam jam dari Jakarta.

Lampu-lampu di kota Auckland bersinar dengan cantiknya, terutama Sky Tower yang terlihat hampir dari setiap sisi kota Auckland.

Butuh dua puluh empat menit untuk akhirnya sampai di depan pintu seseorang yang sudah begitu lama tidak saya lihat. 

Terakhir kali, saya masih sempat memeluknya dan melambaikan tangan sambil menahan hati untuk tetap utuh melihatnya pergi. Dan sekarang saya di depan pintu rumahnya.
Dada saya rasanya sangat sesak, untuk baru menyadari apa yang sedang saya lakukan.
Tapi tangan saya tetap menekan bel di depan pintu rumah itu.

Tujuh belas detik kemudian, pintu itu terbuka.



*


Auckland, 27 July

20:02

Bryan duduk di seberang saya dan masih tidak berhenti memberikan tatapan kaget.


"Hai. Apa kabar kamu?" Saya memulai pembicaraan. Tapi segala yang otak saya inginkan hanya memeluknya.


"Baik. Kamu apa kabar?" Bryan tidak melepaskan matanya dari mata saya. Sorot matanya masih sama dengan ingatan saya. Mata itu masih hangat untuk dipandangi kembali.


Saya mengambil sebuah kotak dari tas saya dan memberikannya kepada Bryan.


"Saya tidak punya banyak waktu. Saya datang ke sini hanya ingin menyelesaikan apa yang menurut saya belum selesai. Saya akan menikah dengan William besok."


Bryan tampak sedikit terkejut, tapi dengan tenang dia membuka kotak yang saya berikan. Ada setumpuk surat yang selalu saya tuliskan untuk Bryan, tapi tidak pernah saya kirim. Terakhir saya menghitungnya, jumlahnya ada tiga ratus dua puluh empat. Bryan terdiam memandangi surat-surat itu.


"Kamu hidup dengan baik kelihatannya." Saya memperhatikan sekeliling rumahnya, lalu melanjutkan ucapan saya "Saya tidak begitu baik. Dua tahun setelah kamu pergi, saya tidak pernah benar-benar bisa berhenti merasakan perasaan yang tidak ingin saya rasakan, contohnya, mengingat kamu dalam hampir semua kegiatan saya, hanya karna saya terbiasa melakukannya dengan kamu. Saya tidak terlatih untuk menampung rindu yang saya rasakan untuk kamu. Dan kamu tidak bisa pulang begitu saja ke negara ini dengan berbagai pengakuan hati kamu yang bahkan belum bisa saya cerna."


Saya mengambil nafas panjang dan melanjutkan ucapan saya.

"Dan kamu terlihat begitu baik, yang mana saya terlihat begitu menyedihkan untuk masih membawa segala perasaan yang harusnya sudah dikubur, tapi saya masih bicara karna begitu banyak yang ingin saya sampaikan pada kamu. Karna masih ada hal yang belum saya sampaikan pada kamu"


Saya kembali terdiam, meyakinkan pikiran saya bahwa kali ini hati saya boleh diijinkan bicara.


"Saya cinta kamu, Bryan"


Bryan tidak merespon, mungkin perasaan kagetnya mematikan sedikit syaraf otaknya. Dia hanya terdiam tidak bergerak memandang saya.


"Saya selalu cinta kamu, Bryan. Tapi, saya tidak pernah berani untuk mengakui itu sampai saat ini. Dan, begitu kesalnya saya karna kamu tidak pernah kembali untuk saya. Setelah semua pengakuan kamu, kamu pikir kamu bisa begitu saja meninggalkan saya di negara itu sendirian? Kamu pikir semua yang kita jalani di sana tidak cukup kuat untuk menghancurkan hati saya? Saya....."


Bryan bangkit dari tempat duduknya dan memeluk saya, cukup erat untuk akhirnya membuat saya tidak melanjutkan ucapan saya.


"Come back, Mary" Bisiknya.


"I didn't know that my confession gave that much impact on you. Come back to me, i was your home once. You have no idea how I wish i could be with you"


"Kamu sadarkan apa yang saya bilang tadi? Saya akan menikah dengan William besok. Saya datang ke sini hanya sebatas untuk menuangkan apa yang saya rasakan, hingga perasaannya habis. Lalu saya bisa kembali ke William. Saya datang ke sini bukan untuk mengejar cinta, Bryan. Saya ingin menyelesaikannya"

"I know, dear. Kamu mau tau apa yang saya rasakan dalam dua tahun ini? Kosong. Karna saya meninggalkan hati saya di tempat kamu berada. Karna saya tau, tidak seharusnya saya menghancurkan cerita cinta sempurna kamu dengan William. Kamu kesal kenapa saya tidak pernah kembali untuk kamu? Kamu tidak tau betapa seringnya saya hampir membeli tiket dan terbang untuk mengambil hati saya yang ada di kamu. Untuk membawa kamu bersama saya. Tapi, kamu pikir saya bisa se-egois itu? 


Saya juga selalu cinta kamu, Mary. Mau satu tahun atau dua tahun, yang saya rasakan masih sama dari terakhir kali saya memeluk kamu di Bandara. Dan rasanya tidak nyata kamu benar-benar ada di depan saya sekarang, sampai saya tidak tau bagaimana caranya untuk melepaskan kamu. Sekarang yang ada di kepala saya hanya deretan cara bagaimana agar kamu mengerti, kalau cinta, tidak bisa diselesaikan.


Malam ini, melihat kamu ada di depan pintu rumah saya tadi. It ensures me that you're meant for me. Empat tahun dalam perasaan cinta diam-diam, dan dua tahun dalam perasaan cinta lebih diam-diam lagi, sudah cukup rasanya saya menjalani cinta yang seperti itu. Kita akan terdengar egois di mata William, but I love you, Mary. And i want you to finish it with me"


Bryan menatap saya dalam dan melanjutkan ucapannya


"Life as we know it"


Saya ingat saya menghabiskan seratus empat belas menit dalam pembicaraan itu bersama Bryan, dan otak saya masih mencari alasan untuk mengakhiri perdebatan itu. Namun, satu hal yang pasti, untuk pertama kalinya dalam dua tahun ini, selama seratus empat belas menit itu, hati saya terasa hangat hanya dengan menatap wajah seseorang.

*

Butuh enam puluh tujuh menit setelah pembicaraan saya dengan Bryan untuk kembali ada di pesawat menuju Jakarta.
Butuh empat belas jam dua puluh menit untuk kembali mendarat di Bandara Internasional Soekarno Hatta.

Saya kembali menginjakkan kaki di kota ini dengan perasaan yang tidak saya ragukan. Terutama karna ada seseorang yang mendarat di sini bersama saya. Waktu menunjukkan pukul tujuh pagi lewat dua puluh tujuh. Butuh tiga puluh tiga menit untuk kembali ke rumah William.


Jakarta, 28 July

08:00

Di saat semua orang khawatir mencari pengantin wanita yang hilang dari dua hari yang lalu, saya berdiri di pintu itu bersama Bryan yang mengenggam tangan saya. Mungkin akan butuh selamanya untuk menerima maaf dari William. Tapi, akan lebih baik seperti ini daripada dia bersama saya yang hatinya tidak bersama dia.

Hati saya tau dimana benda itu harus berada, dan ini juga menyadarkan saya atas cerita cinta sempurna yang disebut-sebut.

Semuanya ada di genggaman Bryan.

All of it.