Sekumpulan bahasa pribadi.

Lalu bahasa hanyalah sekedar perantara.
Hati adalah sumber dari segalanya.
Tidak perlu dipahami, tapi butuh dirasakan.

Friday 28 December 2012

Batas dan Ruang

Saya baru saja mengambil secangkir Latte saat saya berbalik dan menemukkan wajah yang begitu familiar.
Dari ujung kepala sampai ujung kaki, saya hafal setiap jengkal.
Dan matanya tetap punya kemampuan untuk membuat saya terpana.
Saya tidak tau mengapa tiba-tiba yang bisa saya lakukan hanya terfokus untuk membuat jantung saya tetap berdetak.
Tidak bisa berpikir. Tidak bisa bicara.
Lagi-lagi, dia dengan mudahnya tersenyum dan itu saja sudah membuat jantung saya nyaris berhenti.
"Tania." Dia memanggil nama saya dengan ringan.
Yang saya balas hanya hembusan udara dari mulut.
"Sudah cukup lama kita tidak bertemu? Kamu tinggal di sini juga?"
Butuh sekitar 10 detik sampai saya mengerahkan seluruh tenaga saya untuk mengembalikkan kontrol atas tubuh saya.
"Iya, saya pindah sudah cukup lama." Saya sudah tidak peduli intonasi seperti apa yang keluar dari mulut saya. Otak saya tidak cukup mampu untuk mengaturnya.
"Saya baru datang minggu lalu. Papa mengirim saya bersama beberapa rekan kantor untuk mengurus hotelnya di daerah Salamanca. Kamu sedang buru-buru? Mau menemani saya minum kopi sebentar?"
Sekujur tubuh saya seperti berkonspirasi untuk menolak ajakkannya, tapi lagi-lagi otak saya tidak cukup mampu mengatur apa yang saya katakkan.
"Boleh. Kebetulan saya juga sedang tidak sibuk."
Dia memberikan lengkungan garis yang begitu mempesona di wajahnya.
Saya mengikutinya berjalan di pinggir pelabuhan, di sepanjang Franklin Wharf.

"Kamu apa kabar? Sekeluarga kamu pindah ke sini? Terakhir kali saya dengar dari beberapa orang, kamu pindah ke luar negeri. Saya tidak sempat menghubungi kamu, juga tau keadaan kamu sejak terakhir kali kita bertemu." Dia membuka bahan bicara.
"Saya pindah ke sini dengan adik saya. Orang tua saya tinggal bersama kakak di Chicago. Dia menikah tahun lalu dan sekarang sedang mempersiapkan kelahiran bayinya."
"Kamu serius? Jika ada kesempatan saya sangat ingin mengucapkan selamat. Kamu sendiri di sini apa kabar? Kamu kerja? Adik kamu?"
"Iya, dan adik saya mengambil hukum di Univeristy of Tasmania."
"Dan adik kamu sudah kuliah sekarang. Ckck. Sudah berapa lama ya kita tidak bertemu? Terakhir kali kita bertemu adik kamu masih SMA. Berarti sekitar 3 tahun yang lalu ya."
"4 tahun." Saya menyelak ucapannya. Dia pun tertawa kecil.
"Oh ya. Betul. 4 tahun yang lalu. Kita baru lulus kuliah saat itu." Dia pun bicara.
Saya terdiam. Memperhatikkannya dari sudut mata saya.
Saya tau betul gerak geriknya. Seperti ingin bicara beberapa kali tapi dia seakan mengurungkan niatnya.
"Kamu... baik-baik saja kan 4 tahun ini?"
"Kamu sadar kalau itu pertanyaan kamu yang ke-3 mengenai kabar saya. Untuk apa kamu tau?"
"Hanya.. kita tidak begitu banyak bicara sejak kita berpisah. Bukan itu padahal yang saya mau."
Saya tidak membalas ucapannya. Begitu banyak luapan di hati saya yang butuh wadah lebih besar.
Luapan itu seperti menghimpit dan membuat saya sesak bernafas.
Lalu begitu saja luapan-luapan itu meracuni seluruh pembuluh di tubuh saya dan membawa banyak kenangan kembali ke otak saya saat darah mengalir.
Terlalu banyaknya yang disalurkan membuat desakkan-desakkan itu membuka luka lama yang tadinya sudah terkubur diantara kehampaan.
"Bukan itu mau kamu? Kamu tidak punya hak apapun untuk membuat saya menjalani apa yang kamu mau. Dari dulu bukannya semuanya memang hanya tentang kamu?"
"Kamu.. masih menyimpan perasaan kesal terhadap saya?"
Dan saat itu juga rasanya saya ingin mempertinggi intonasi suara dengan kesadaran yang penuh.

"Pernah tidak dalam 4 tahun ini kamu berpikir kalau kamu sudah menyakiti saya tanpa saya pernah membenci kamu sedikit pun? Membuat saya mencintai kamu tergila-gila tanpa kamu berusaha sedikitpun? Kamu seperti mendapatkan segala fasilitas untuk membuat saya melakukan apa saja untuk kamu. Dan bahkan tiket seumur hidup untuk terus masuk ke pikiran saya. Kamu sadar saat kita melempar topi kelulusan waktu itu harusnya kita berpelukkan dan saling bertukar rasa bangga akan satu sama lain. Tapi yang kita lakukan hanya berdiri di pojokkan ruangan, saya mendengarkan, kamu bicara. Lima kata yang saya hafal setengah mati. Saya. Rasa. Kita. Harus. Berakhir. Kalimat macam apa itu yang diucapkan orang saat hari kelulusan? Dan, oh ya. Tambahan lagi, alasan 'saya butuh waktu sendiri' lalu dalam 2 minggu kamu sudah memeluk wanita lain sama sekali tidak berlaku. Saya habiskan berjam-jam, berhari-hari, termenung memikirkan apa yang kurang saya berikan selama 5 tahun hubungan kita. Rasanya seperti dehidrasi tapi saya immortal. Hati saya seperti diamputasi menjadi balok-balok es yang tidak kunjung cair. Kamu meninggalkan saya dengan segala tanda tanya yang dijawab dengan kekosongan sementara kamu memberitaukan kepada dunia bagaimana kamu akan menikahi wanita itu dan memberikan seluruh cinta yang harusnya berlabel milik saya. Dari mana kamu belajar cinta sedalam itu? Bukankah cinta seperti itu yang selama ini saya tunjukkan untuk kamu? Yang buat saya lebih menyedihkan adalah bahkan saya tidak membenci kamu, saya malah berharap kamu bahagia."

"Tapi.... sekarang kamu membenci saya?"

"Saya tidak pernah membenci kamu. Hati saya terlalu kram untuk menyadari bahwa kamu di depan saya saat ini dan kita berkomunikasi secara langsung, bukan hanya di dalam imajinasi saya. Saya tidak tau cinta macam apa yang hati saya ciptakkan bahkan otak saya saja menolaknya. Selama 4 tahun ini keadaan saya tidak baik, Leo. Tidak sama sekali. Saya menentang segala pemberontakkan yang memaksa saya untuk menyingkirkan kamu dari patahan-patahan mimpi. I've been in a war that I knew I would never win. Dan kesalahan yang besar kita berdua ada di sini sekarang karna cadangan sudut utuh di hati saya juga siap hancur sebentar lagi."
Saya akhirnya menghela nafas tanpa mengalingkan pandangan saya dari cincin jari manis di tangan kirinya.

"Saya akui kamu punya segala hak untuk membenci saya. I could say I took you for granted dalam setahun terakhir hubungan kita. Saya hanya... jenuh. Kamu terlalu menjadi keseharian saya. Dan ya, segala spekulasi yang kamu ucap kepada saya, semuanya benar. Saya meninggalkan kamu untuk wanita itu. Tapi percayalah bahwa kamu adalah cinta pertama saya. Saat saya bertemu Sonya, saya tergila-gila. Tapi saya tidak merasakan cinta yang begitu stabil dan perasaan aman yang membuat saya tidak mengenal kata rapuh. Cinta yang saya dapat dari kamu. Saya terlampau menghiraukan logika. Setelah menjalin hubungan dengan Sonya tanpa berpikir dua kali saya hanya mengajaknya untuk menikahi saya. Dan saya menjadi bodoh untuk kesekian kali karna tanpa sadar, saya melepaskan seseorang yang begitu berarti. Saya menghancurkan segala mimpi yang kita buat. Saya menyadari hal itu Tania. Bahkan saya menyadari bahwa setelah klimaks tergila-gilanya saya pada Sonya, saya hanya bisa memikirkan kamu dan mencaci diri saya sendiri. Saya tidak tau apa yang dimaksud oleh takdir saat ini. Tapi bertemu kamu di sini seperti fatamorgana. Bukan kamu saja yang merasakan perasaan rindu, percayalah saya juga merindukan kamu. Tapi saya membenci diri saya sendiri mungkin hampir sama besarnya seperti kamu membenci saya. Juga menyadari bahwa ini, tidak bisa saya rubah" Dia mengangkat tangan kirinya dan menunjukkan betapa berkilaunya cincin itu.

Rupanya saya juga kehilangan kendali atas air mata saya.
Tiba-tiba saja mereka menggenang walaupun saya berusaha menahannya.

"Cukup. Saya harap ini terakhir kalinya takdir bersenda gurau terhadap kita berdua. Saya sudah berhenti bertanya mengapa. Mungkin pertemuan ini hanya mengingatkan saya untuk melepaskan kamu sepenuhnya. Dan saya sudah punya cukup kesiapan untuk itu. Kembalilah dengan perasaan tergila-gila kamu kepada Sonya. Kamu punya janji yang lebih sakral dengannya dibanding janji yang kita pernah buat. Janji kamu terikat dengan cincin itu. Saya harap saat kita bertemu tanpa sengaja entah di sudut dunia yang mana, saya hanya ingin kita berperan sebagai orang asing. Dan jangan lagi kamu memanggil nama saya, karna saya tidak sanggup untuk menahan segala perasaan sesak yang mungkin masih saya miliki 10 tahun mendatang. Anggap ini perbincangan kita yang terakhir. Menjawab segala pertanyaan saya selama 4 tahun terakhir ini hanya dengan obrolan singkat dari kita berdua. Jadi sekarang saya hanya bisa berharap kamu akan bahagia." Saya mengulurkan tangan saya kepada Leo. Tapi dia tidak bisa membalasnya.

Pertama kali dalam hidup, saya melihat mata Leo ternyata sama basahnya seperti mata saya.
Namun, satu hal yang sekarang saya sadar.
Cinta yang saya punya untuk dia terlalu berharga untuk didaur ulang lagi.
Biarkan seperti apa adanya. Terpendam diantara segala ketakutan saya.
Bukan lagi untuk Leo.

Leo masih tidak membalas tangan saya.
Saya membalik badan saya dan berjalan menjauhinya.

Ada selipan rasa bangga di pikiran saya.
Untuk berhasil membuat cadangan sudut utuh di hati saya baik-baik saja.

Dan saya bisa pergi,

Tanpa mengalingkan kepala saya.
Dan hati saya,

Mengucapkan selamat tinggal.

No comments: