Sekumpulan bahasa pribadi.

Lalu bahasa hanyalah sekedar perantara.
Hati adalah sumber dari segalanya.
Tidak perlu dipahami, tapi butuh dirasakan.

Wednesday 1 December 2010

Kado Natal


Sudah tiga jam dia menunggu laki-lakinya di tempat biasa mereka.
Pohon yang biasa dijadikan tempat berteduh mereka, sekarang sudah dihiasi lampu warna-warni.
Alunan pelan lagu natal terdengar di mana-mana dan udara yang berhembus membuatnya menggigil malam ini.

Malam natal ini, dia genggam sekotak kado yang terbungkus manis.
Jam terus berjalan, dia masih tidak menemukan tanda-tanda kehadiran yang ditunggunya, ketika tiba-tiba seseorang memanggil namanya dari kejauhan.
"Bintang!"
Wanita itu langsung menoleh ke arah suara tersebut dan tersenyum lega.
Laki-lakinya separuh berlari mendekati Bintang.
"Kamu sudah menunggu lama?" Pertanyaan pertamanya.
"Lumayan, kamu pasti sibuk kerja lagi? Ini malam natal loh."
"Bintang, saya musti bicara sama kamu" Mimik laki-laki itu terlihat serius, namun Bintang sibuk memperhatikan tangan kiri lelakinya.
"Loh? Jam tangan kamu baru ya? Masa masih ada plastiknya begini? Sini biar saya bantu melepaskan."
"Ini?" Lelaki itu menaikkan tangannya dan menatap jam tangan barunya. 
Bintang mengangguk.
"Iya, hadiah natal dari seseorang." Jawabnya.
"Seseorang?" Bintang mengerutkan keningnya.
"Bintang, saya musti bicara sama kamu. Saya ingin meminta kamu untuk mengembalikan cincin yang saya pernah berikan ke kamu." Ucap laki-laki itu tanpa berbasa-basi.
Bintang tidak menjawab, matanya terbelalak kaget. Jantungnya sibuk berdetak sekencang mungkin, dan tampaknya hatinya sibuk berantakan tiba-tiba.
"Saya batal menikahi kamu." Ucap laki-laki itu lagi.
Bintang menghela nafasnya dan mengumpulkan sisa kewarasannya untuk bicara. Banyak yang ingin dia katakan, tapi yang keluar hanya,
"Kenapa?"
"Karna saya menemukan yang lebih baik dari kamu."
"Sejak kapan kamu menemukannya?"
"Sudah lama, kamu saja tidak peka. Kamu pikir saya benar-benar sibuk kerja selama ini?"
"Lalu kenapa baru sekarang?"
"Karna nanti malam saya berencana melamarnya. Tidak mungkin saya melamar wanita lain sementara saya masih bertunangan dengan kamu"

Bintang terdiam sesaat. 
Membiarkan kata-kata beristirahat sebentar di antara dia dan laki-lakinya.

"Jam tangan itu darinya?" Tanya Bintang akhirnya membuka mulut.
"Ya, Ini kado natal paling indah yang pernah saya dapat. Walaupun saya tau dia baru beli jam tangan ini tadi siang hahaha" Laki-laki itu masih bisa tertawa. Dia tau Bintang tidak akan marah padanya, Bintang tidak bisa marah padanya.
"Kamu.. bahagia bersama dia?"
"Tentu. Ya, dia memang tidak begitu sering memperhatikan saya atau menghabiskan waktu bersama saya. Kami berdua sama-sama sibuk. Tapi hebatnya dia selalu tau apapun yang saya sukai, bahkan tanpa saya bilang padanya. Dia begitu mengenal saya."
"Saya juga tau.." Bisik Bintang pelan. Laki-laki itu tampak tidak dengar.
"Lalu kamu akan menikahinya?" Bintang bicara lagi kali ini lebih keras.
"Iya, makanya saya minta cincin yang saya berikan supaya kita resmi putus. Saya sudah membelikannya cincin baru, tenang saja, dia tidak akan memakai cincin bekas kamu ini."

Bintang tidak percaya apa yang baru saja dia dengar. Perlahan Bintang melepaskan cincin yang dia pakai. Tangannya terasa berat sekali, mungkin tenaganya habis untuk menahan air mata.

"Perlu saya yang melepaskan? Sini saya saja yang melepaskan, kan saya yang memakaikan."
Bintang mengangguk pelan. Laki-laki itu melepaskan cincin di jari manis Bintang kemudian mengantonginya.
"Baiklah, sudah. Kamu pulang ya, di sini dingin sekali. Terima kasih, Bintang."
"Tu.. Tunggu." Tahan Bintang.
"Ada apa?"
"Ini kado natal buat kamu."
Laki-laki itu menatap bungkusan manis yang diberikan Bintang. 
Pelan-pelan dia mengambilnya.
"Oh, terima kasih lagi ya. Maaf saya tidak memberikan kado balasan."

Bintang mengangguk kemudian membalikan badannya untuk pulang. Dadanya sesak. Dia bahkan seperti lupa caranya bernafas. Dia bukan malaikat. Dia bukan pekerja sosial yang memberikan cintanya cuma-cuma untuk disakiti. Bintang sungguh ingin berteriak. Tapi, pita suaranya seolah berhenti bergetar.

Laki-laki itu berjalan ke mobilnya sambil membawa kado natal dari mantan tunangannya. Dia tidak menyangka akan semudah itu memutuskan hubungan dengan Bintang. Ternyata Bintang benar-benar tidak bisa marah padanya. Apakah dia keterlaluan? Tapi affair yang dia jalani akan lebih menyiksa Bintang. Dia harus mengakhirinya.

Sepanjang perjalanan pulang, laki-laki itu tidak bisa berhenti memikirkan Bintang. Dia masih tidak percaya sudah melakukan hal yang terus-terusan disuruh Nadia, affairnya. Memutuskan Bintang. Sejenak kekhawatiran mengisi rongga otaknya. Apakah Bintang baik-baik saja sekarang? Harusnya tidak semudah itu memutuskan hubungan yang sudah berjalan lebih dari setengah dasawarsa. 

Entah kenapa, rasanya Nadia salah. Hatinya tidak lega begitu dia memutuskan hubungan itu dengan Bintang. Sekarang mungkin dia sama sesaknya. Mungkin Nadia salah, mungkin hubungan mereka tidak seharusnya serapuh itu.
Laki-laki itu memberhentikkan mobilnya di pinggir jalan. Dia tidak bisa menyetir dengan sesak yang seperti ini. Seperti kesedihan luar biasa yang dia tidak tau bisa terjadi. Ini ternyata lebih sulit untuknya daripada yang dia kira. Dia berusaha bersikap sangat normal di hadapan Bintang tadi, tapi sekarang seluruh memori Bintang seperti berputar di kepalanya dan harusnya dia sadar betapa membahagiakan saat-saat itu.

Perlahan, laki-laki itu mengambil kotak yang diberikan Bintang. Kotak itu terasa begitu enteng, dia kemudian membuka kertas yang membungkus kotaknya.
Kotak yang benar-benar indah dan unik. Ada foto dirinya dan Bintang di situ. Ada juga bentuk tulisan-tulisan lucu yang dia hafal, tulisan Bintang. Tulisan kata-kata manis. Dia selalu suka tulisan Bintang. Lelaki itu tersenyum. Kotak ini benar-benar kotak kado paling bagus yang pernah dilihatnya. Bintang pasti menghabiskan banyak waktu untuk membuat kotak ini. Kotaknya saja kreatif, seperti apa isinya? Buru-buru laki-laki itu membuka isinya.

Kosong.

Ya, kosong. Tidak ada jam tangan atau dompet atau ban pinggang. Hanya selembar surat. Tulisan Bintang lagi. Surat itu digulung dan dipitakan hijau merah. Hmm, nuansa natal.
Dengan bingung, laki-laki itu membaca surat tersebut.

Dear Ksatria,
Saya memikirkan berbagai macam hadiah yang paling istimewa untuk kamu.
Saya memikirkan kado natal yang tidak terlupakan.
Tapi, nihil.
Saya tidak tau kado natal apa yang paling berguna dan istimewa.
Kamu sudah memiliki semuanya. Jadi, saya putuskan untuk membuat kotak ini.
Setiap sentinya saya potong dengan perasaan saya untuk kamu yang hampir tumpah.
Setelah itu, saya akhirnya menemukan hadiah yang paling berguna dan istimewa untuk kamu.
Saya meletakannya di dalam kotak ini.

Saya meletakan RINDU yang tidak terhitung banyaknya.
Saya meletakan SEMANGAT yang tidak akan pernah habis.
Saya meletakan HARAPAN yang luas, yang tidak berbatas.
Saya meletakan PERCAYA yang tidak kabur jauh-jauh.
Saya meletakan CINTA yang tidak beralasan...........
Dan setiap kamu buka kotak ini, ada KEBAHAGIAAN yang terselip di antara celah keajaiban tersebut.

Saya nyata untuk kamu.
Saya adalah siapapun yang bisa kamu ajak menari di bawah hujan.
Saya akan jadi siapapun yang mau berjalan bolak-balik bersama kamu sampai menemukan pintu keberhasilan yang tepat.
Saya adalah siapapun yang bisa kamu telepon tengah malam dan menemani kamu sampai tertidur.
Saya adalah siapapun yang mau bersama kamu dan memberikan segala ketulusan di luar batas biasa.

Selamat natal, Ksatria.
Semoga kado natal ini menjadi kado natal yang paling berguna.
Yang tidak akan pernah rusak atau kadaluarsa.
Yang tidak akan pernah habis atau hilang.
Saya selalu cinta kamu.

With Love,
Bintang

Laki-laki itu masih tetap menatap surat yang dipegangnya. Hatinya langsung lemas seketika. 

Apa yang baru saja dia lakukan? 

Melepaskan seseorang yang begitu berharga?

Harusnya bukan jam tangan ini yang diharapkannya. 

Bintang yang selalu ada untuknya. Bintang yang nyata untuknya.

Dimana otaknya? 

Bukan. 

Dimana hatinya?

Ksatria merasakan dadanya terbakar. Heartache is literally a pain in the heart. Dia habis-habisan menyesal. Nadia salah, wanita itu sungguh salah. Dan Ksatria terlampau bodoh. Ksatria terlampau salah. Laki-laki itu menggeleng pelan.
Dia baru saja melepaskan wanita terbaiknya. Wanita yang bersedia memberikan kado natal yang tidak terhingga nilainya. Dan Nadia tidak bisa memberikan itu. Harusnya dia sadar. Harusnya.

Ksatria langsung kembali ke setir mobilnya dan berjalan cepat menuju rumah Bintang. Di perjalanan, lelaki itu tidak berhenti mengucapkan kata maaf.
Bintang harus dengar sebelum jam berdentang tengah malam. Begitu banyaknya Natal yang mereka lewatkan bersama. Natal kali ini, Ksatria akan tetap memeluk Bintang seperti tahun-tahun sebelumnya.
Rumah Bintang sudah terlihat. Ksatria langsung memberhentikan mobilnya dan mengetuk pintu rumah kecil itu.
Tidak ada jawaban.
Mungkin Bintang belum pulang.
Ya, dia akan menunggu.

Jam tangannya menunjukkan pukul 12.01. Bintang belum sampai di rumah itu. Ksatria menghela nafasnya. Dia melewatkan satu pelukan Natal dari Bintang. Perlahan sebuah langkah kecil membuat Ksatria kembali mengangkat kepalanya.
“Bintang”
“Ksatria?”
“Saya…” Ksatria tidak dapat melanjutkan kata-katanya. Mendadak dia kesulitan untuk bicara. Dia tidak mungkin meminta Bintang untuk kembali padanya, dia tidak pantas untuk itu.
“… Selamat Natal.” Lanjut Ksatria sambil mengeluarkan cincin Bintang yang tadi dikantonginya.
“Kamu yang terbaik.” Lelaki itu meletakkan cincin itu di depan pintu rumah Bintang lalu berjalan mendekati Bintang dan tersenyum.
“Dan… Maaf.” Ksatria melewati Bintang kemudian berjalan ke mobilnya.

Dia akan hidup dengan perasaan yang begitu menyakitkan ini. Perasaan yang dia sadar bahwa… Kado terindah itu justru.., yang tidak pernah rusak, kadaluarsa, habis, atau hilang. Mungkin itu cukup menyiksa untuknya.

Dalam hati Bintang sendiri, cinta itu begitu tulusnya sampai emosi pun tidak setara.

Permintaan maaf.

Itu saja cukup untuk Bintang.

No comments: