Sekumpulan bahasa pribadi.

Lalu bahasa hanyalah sekedar perantara.
Hati adalah sumber dari segalanya.
Tidak perlu dipahami, tapi butuh dirasakan.

Tuesday 11 October 2011

Patahan Magnet


Tujuh tahun sebelumnya.

Sudah 3 jam saya menghabiskan waktu disini.
Saya sangat suka tempat ini, sungai ini.
Secangkir skinny latte tampaknya menjadi pelengkap yang sempurna, belum lagi ditambah alunan musik saxophone yang berbaur tenang dengan imajinasi saya.
Saya bisa berdiam selamanya disini, as if forever really exists.
Saya dan tempat ini adalah patahan magnet yang selalu kembali.
Saya belajar banyak saat saya sendirian.
Saya belajar bagaimana menjadi sendirian menyelamatkan saya dari perasaan ditinggalkan. 
Belajar bagaimana sendirian meleburkan kekhawatiran akan rasa kehilangan.
Ya, kadang sendirian adalah hal yang baik....
Tapi belakangan ini, saya sedikit bosan belajar, belakangan ini saya malah tidak tenang menjadi sendirian.
Pikiran saya sedang menakuti diri sendiri.
Dan sayangnya kelakuan ini seperti daging yang sudah menyatu pada tulang manubrium tepat di tengah dada. Menjadi sendirian adalah zona aman saya.
Mungkin...........

Hari ini, saya duduk dalam keadaan setengah jenuh.
Setengah hilang.
Rasanya seperti tidak siap untuk melihat matahari terbenam.
Membiarkan waktu berlalu, pagi datang, dan saya harus berpisah dengan tempat ini.
Hari ini cuacanya begitu indah, saya bahkan terbawa cinta lokasi pada angin yang berhembus mengelus dagu.
Menyadari ini adalah hari terakhir untuk menikmati pemandangan favorit saya, hampir mirip rasanya dengan patah hati.
Saat menyadari lagu dari saxophone berhenti, saya langsung menoleh.
Pemain saxophone itu tampak beristirahat, wajah tuanya terlihat sedikit lelah.
Saya tersenyum kemudian bangkit berdiri dan mendekatinya.
Hal yang tidak pernah  saya lakukan, paling-paling saya hanya memberikan beberapa uang koin dan berlalu.
Tapi entah mengapa rasanya sekarang saya ingin mengucapkan terima kasih kepadanya.
Terima kasih karna sudah menemani saya satu tahun terakhir ini.

"Halo." Sapa saya sambil memberikan sebuah senyuman paling ramah.
Dia membalas dengan senyuman yang tidak kalah ramah.
"Ada yang bisa saya bantu?"
"Saya mau mengucapkan terima kasih." Ucap saya sambil mengeluarkan selembar uang kertas dan memasukkannya ke kotak yang tersedia.
"Kamu menikmati permainan saya selama satu tahun terakhir ini?"
Saya tercengang.
"Kamu tau saya di sini?"
"Ya, saya tau kamu selalu duduk di bangku dekat sungai. Bermain musik di sini seperti mendapatkan pantulan balik dari telinga-telinga yang mendengarkan." Ucapnya masih dengan tersenyum.
Saya tertawa kecil.
"Ya, kamu benar, saya selalu suka dengan alunan saxophonemu. Kamu adalah pemain yang hebat! Dan saya pasti akan merindukannya"
"Maksudmu?"
"Saya harus pindah ke luar negeri besok. Pekerjaan. Dan rasanya benar-benar berat untuk berpisah dengan tempat ini."
"Kamu akan kembali lagi."
Saya menatap bingung. "Kembali lagi? Saya bahkan tidak tau."
"Entah bulan depan, tahun depan, atau 10 tahun lagi, tempat ini pasti akan menarikmu kembali. Saya tidak pernah melihat orang sejatuh cinta kamu kepada tempat ini, yaaa, selain saya tentunya." Dia tertawa lepas. Kerutan di matanya semakin terlihat jelas. Saya ikut tertawa.
"Kamu juga suka tempat ini?"
"Saya sempat tinggal di sini saat remaja, lalu pindah jauh selama bertahun-tahun. Sekarang setelah tua begini, saya kembali lagi kan ke sini, tempat ini seperti magnet."
"Ya, saya juga merasakan hal yang sama." Saya pun ikut tertawa.
"Saat kamu mencintai tempat ini, percayalah, tempat ini akan lebih mencintai kamu. Tempat ini punya segudang kejutan."
"Ya, semoga saya akan kembali lagi ke tempat ini. Sekali lagi, terima kasih ya."
"Selamat jalan. Saya akan kehilangan sepasang telinga pendengar untuk sementara. Semoga kamu beruntung!" Dia mengulurkan tangannya yang dibalas mantap oleh saya. 
Saya kemudian berbalik badan dan bersiap untuk berjalan pulang.
"Hei." Suara pemain saxophone itu memanggil lagi.
"Ya?" Saya menoleh.
"Satu lagi yang saya tau, setiap kamu duduk di bangku kesukaanmu itu, tepat dibelakangmu ada laki-laki yang selalu memperhatikanmu. Dia memandangmu dengan tatapan damai dan beranjak pergi saat kamu pergi. Seperti menjagamu."
"Laki-laki?"
"Kamu mungkin tidak sendirian, mungkin saja dia pengagum rahasia"
Saya tersenyum dan otomatis langsung menoleh ke tempat duduk favorit saya, mencari-cari laki-laki yang baru saja dibicarakan.

Ya, ada seorang laki-laki di sana. Sayang, dia langsung menolehkan wajahnya. Mungkin sadar mata saya hampir menabrak matanya.
Saya sungguh ingin menyapa dia, tapi lebih baik jika kami berpisah tetap sebagai orang asing.
"Oh, saya tau dia. Saya juga tau itu bangku favoritnya." Ucap saya lagi kepada pemain saxophone. Dia tersenyum, saya juga tersenyum. Mengubur nyali saya.

Saya bahkan selalu merasa saya transparan.
Tiba-tiba rasanya hari ini saya seperti sangat berarti.
Tiba-tiba rasanya hari ini saya menjadi sangat nyata.
Sampai jumpa,
Jika saya tidak terlalu jauh dan magnet tempat ini masih dapat membawa saya kembali.
....................................

Empat tahun sebelumnya.
Saya masih hafal wangi tempat ini. Saya masih ingat setiap hembusan angin yang mengisi celah dan sudut tempat ini.
Semuanya terasa seperti kemarin, tidak ada banyak perbedaan.
Tempat ini masih membawa setiap emosi yang disimpan, semua tangisan yang menguap secara ajaib, semua kata-kata yang diucap tanpa pendengar, semua pikiran-pikiran tidak berbentuk.
Tempat ini masih mengandung magnet yang sama, magnet yang bisa menarik saya.
Setelah menyelesaikan proyek terbesar saya, dengan begitu dermawannya bos saya mengirim saya kembali ke kota asal.
Aneh tapi rasanya saya harus pulang.
Aneh harus kembali.
Aneh melihat kota yang hidup jauh dari lamunan saya.
Hanya tempat ini.
Tempat ini yang membuat saya mau kembali ke kota ini. Tempat ini yang menarik saya untuk setuju pulang kampung. Setuju karna magnetnya cukup kuat untuk tidak bisa saya lawan.
Sambil membawa koper, tidak siap untuk pulang ke rumah, saya duduk di kursi favorit. Menikmati aura yang sama yang saya dapat saat saya menarik nafas, menyerap oksigen sebanyak-banyaknya dan membiarkan setiap kenangannya mengisi paru-paru saya.
Pemain saxophone itu tidak lagi ada. Kursi dibelakang saya pun tidak ada yang menempati.
Saya mencoba menikmati kenangan. Beberapa hal terasa berbeda, tapi dapat diatasi.
Saat seseorang pergi, dan memiliki sebuah keputusan untuk kembali, I'm sure there's no single thing that will stay exactly the same.
Saat itulah kenangan menjalankan perannya. Memutar sendiri di dalam pikiran.
Perlahan otak saya membuka ingatan yang bahkan saya tidak tau saya punya.
Saya dapat mendengar suara saxophone dari telinga saya sendiri.
Alunannya membawa saya mengingat warna-warna favorit saya di tempat ini.
Mengingat tenang yang selalu saya rasakan.
Saya memejamkan mata saya sesaat. Mencoba menghayati magnet yang membuat saya tergila-gila. Menyelami setiap keajaiban di saat-saat saya bisa tersenyum sendiri di sini.
Tempat ini begitu kramat untuk saya. Sihirnya bisa membuat saya lepas.
............
............
"Kamu kembali?"
Sebuah suara menyadarkan saya.
"Pemain saxophone itu meninggal satu tahun yang lalu. Sekarang tempat ini bisu" Suara itu berbicara lagi. Saya langsung membuka mata saya dan mencoba mencari pemilik suara tersebut.
"Saya membangunkanmu ya? Kamu benar-benar tertidur pulas tadi? Maaf, saya...."
"Tidak, sama sekali tidak. Saya hanya memejamkan mata"
"Kamu... tidak kenal saya ya? Maaf! Maaf! Saya hanya terlalu bersemangat kamu kembali. Ini cara yang benar-benar lame untuk berkenalan."
I can't help but smiling.
"Saya tau kamu. Bagaimana kamu bisa ada di sini?" Tanya saya.
"Saya selalu di sini, hanya saja hari ini saya datang telat. Bagaimana kamu tau saya? Bagaimana bisa?"
"Saya ingat semua bagian dari tempat ini. Dan kamu termasuk di dalamnya."
Dia terdiam sesaat. Kemudian membuka mulutnya sambil duduk di sebelahku.
“Saya tau kamu selalu duduk di tempat ini. Mungkin terdengar seperti stalker, tapi sebut saja… saya mengagumi kamu sejak dulu?”
"Ternyata masih ada ya pengagum rahasia di dunia ini? Saya kira sudah punah."
Dia tertawa.
“Saya juga tidak tau kenapa hal itu bisa terjadi, tapi kamu begitu unik. Kadang-kadang bisa bernyanyi sendiri, atau berbicara sendiri. Kadang-kadang menangis atau malah senyum-senyum sendiri. Kadang-kadang kamu seperti kosong, atau patah hati, tapi di lain waktu bisa semangat seperti anak kecil. Semuanya kamu lakukan sendirian. Bagaimana tidak unik dan menarik perhatian?”
“Kamu tidak pikir saya gila?” Saya menahan tawa.
“Sedikit.” Ucapnya sambil tersenyum. Lalu kita berdua tertawa lebar. 
“Saya tidak pernah punya keberanian untuk berkenalan sama kamu, rasanya terlalu film. Kejadian-kejadian seperti itu tidak terjadi di dunia nyata. Namun, tiba-tiba di satu hari kamu tidak datang, kemudian di hari berikutnya, dan berikutnya. Saya mulai menyesal. Namamu saja saya tidak tau.” Laki-laki itu masih tersenyum.
“Lalu kamu tetap datang ke tempat ini?”
“Tanpa sadar, saya juga jadi jatuh cinta pada tempat ini. Tempat ini terlalu indah, terlalu cocok untuk dijadikan foto-foto kalender.” Dia bergumam. Saya tertawa lagi.
“Sayang banyak yang berubah dari tempat ini.”
“Ya, tidak ada suara saxophone lagi, dan saya tidak duduk di belakang lagi. Saya malahan duduk di samping kamu sekarang.” Dia menjawab santai sambil tersenyum. Saya tertawa lebih kencang.
Biasanya saya selalu sendirian di tempat ini. Sekarang malah ada seseorang yang duduk di sini bersama saya. Dan kami berbicara. Anehnya, saya tetap merasa nyaman.
“Nama saya Angga.” Ucap laki-laki itu sambil memberikan tangannya.
“Nama saya Jessica.” Balas saya tersenyum.
Perkenalan paling istimewa di tempat favorit saya.
.........................................................

Hari ini.
Gaun yang saya pakai menjuntai indah ke lantai. Menyapu keramik-keramik di setiap langkah saya berjalan maju. Permatanya bersinar bergantian terpantul lampu kristal di tengah ruangan. Saya bisa merasakan jadi wanita paling cantik di antara 1000 orang yang ada di sini.
Laki-laki itu menggandeng tangan saya erat. Seperti takut bisa kehilangan saya kapan saja. 
Kami berdua berjalan keluar dari ruangan ini menuju tempat indah yang selalu menjadi kesukaan saya. Dan kesukaannya.
Sepatu hak tinggi ini membuat saya sedikit kesusahan berjalan, tapi kami tidak mundur atau berhenti.
Angga tampak begitu tampan dengan tuxedo hitamnya.
Dan tepat saat saya meletakan langkah terakhir saya, pria tampan itu menggendong saya menuju bangku favorit kami. Tamu-tamu berhamburan keluar. Berbagai macam suara musik mengiringi kami. Ini adalah pernikahan yang begitu indah.
Mungkin ini cara saya membayar hutang pada tempat ini.
Untuk segala keindahan yang telah dia berikan, saya balas menghabiskan hari terpenting, pernikahan indah ini, di tempat paling spesial.
Magnetnya tidak pernah kadaluarsa.
Setelah bertahun-tahun, segala kebahagiaan saya dan kenangan-kenangan saya tetap disimpan baik-baik di sini.
Dan menemukan seseorang yang akan menghabiskan sisa hidupnya bersama saya, saya kagum dengan cara tempat ini memberikan kejutan.

Sesaat, di selip-selip tawa dan senyuman, serta musik-musik meriah yang ada di sini, saya masih dapat mengingat kata-kata pemain saxophone itu
'Saat kamu mencintai tempat ini, percayalah, tempat ini akan lebih mencintai kamu, tempat ini punya segudang kejutan.'
Kebenarannya telah terbukti. Saya percaya ini adalah bentuk hadiah atau karma atau apapun itu atas apa yang sudah saya lakukan pada tempat ini. Mengagumi tempat ini.
Entah memang benar saya sedikit gila, tapi saya menemukan sedikit surga saya di sini.
Dan, cinta tersembunyi yang sudah direncanakan takdir.

Ya, patahan magnet ini seolah sudah merencanakan untuk mengembalikan saya ke tempat ini.

No comments: