Sebenarnya apa yang kita
cari? Rumah megah berhektar-hektar? Level tinggi kepopuleran dan undangan
setiap malam? Pajangan berlian? Koleksi baju mewah dan label bermerek? Atau
hanya satu tingkat istimewa dari prioritas seseorang yang paling spesial?
Make up-nya sudah separuh
memudar, dan dia tidur di sisi saya dengan damai. Saya yakin dia pasti lelah
setelah semalaman saya ajak ke dunia paling liar yang tidak pernah dimasukinya.
Saat itu sekitar pukul 10.30 saat saya melontarkan pertanyaan paling gila.
"Kita kabur, kamu mau?" Dan dengan mimik wajah kaget terpana, dia
menjawab "Iya".
Satu kata yang akhirnya
membawa saya ada di kereta ini dengannya.
Tujuan : Lebih dari
sekedar kota kecil bernama Bantul, kami sedang menuju ke hidup paling bahagia
yang akan kami ciptakan bersama.
Sebuah pertimbangan yang
begitu matang. Keputusan yang telah memakan waktu tujuh tahun. Keputusan untuk
menunjukkan tujuan mana yang akan kami ambil. Tujuh tahun dalam perasaan cinta
diam-diam. Perasaan yang saya tidak mengerti malah ditentang orang-orang.
Padahal yang ada hanyalah perasaan tulus yang menyempurnakan arti kata
gratuit. Konsep cinta gratis tanpa balasan.
"Pagi" Dia
terdengar berbisik serak. Matanya akhirnya membuka. Saya menikmati fenomena
bulu mata yang lentik itu bergerak.
"Pagi, Sayang"
Ucap saya singkat, tidak ingin kata-kata menghancurkan momen langka ini.
Menikmati wajahnya yang baru bangun tidur dan belum dibedaki lagi. Menikmati
ciuman kilatnya di pipi dengan mulut belum sikat gigi. Dan make-up bekas
semalam yang tidak sempat dihapus. Ini keindahan tanpa berpura-pura.
Kejujuran paling kasat mata.
"Kita sudah ada di
mana?" Ucapnya lagi. Suaranya terdengar sangat manis. Bergema di setiap
sudut ruang otak saya.
"Harusnya hampir
sampai" Jawab saya pelan lalu mencium keningnya. Makhluk yang bersender
manja di dada saya ini sungguh -sungguh makhluk langka yang begitu memukau.
Sebenarnya apa yang saya
cari? Yang saya dapatkan? Atau mungkin yang saya rebut? Dia itu seperti tempaan
permata yang indah tanpa pemilik.
Lalu kami kembali diam. Keheningan
yang mewakili kata-kata yang tidak tercipta. Bukan hal yang baru kami
begitu sering kehabisan bahasa. Mereka begitu terbatas untuk dapat
menjelaskan apa yang sebenarnya manusia rasakan.
Tepat pukul 8 pagi kami
akhirnya sampai di kota itu. Kota Bantul di mana teman saya menyediakan
rumahnya yang bisa di pakai sementara. Saya tidak sabar hidup bersamanya. Tidak
sabar untuk mencari pekerjaan, menabung sedikit-sedikit sampai bisa mengontrak
rumah atau malah membeli sepetak tanah kecil.
Tiara menggenggam tangan
saya erat saat berjalan menyusuri desa, berjalan menyusuri kehidupan baru kami.
Seperti ketakutan tapi terlalu terlambat untuk melangkah mundur. Dan saya akan
selalu ada untuknya. Kebahagiaannya adalah tujuan saya.
"Kamu tidak
apa-apa?" Tanya saya pada Tiara yang terlihat berpikir keras.
"Tidak apa-apa, saya
hanya ingat Ibu. Dia sudah berhenti menangis belum ya? Pasti dia langsung
terpukul begitu tau saya kabur."
Saya menghela nafas. Entah
mengapa rasanya separuh dari Tiara tidak ada di dalam tubuhnya. Tertinggal di
kota metropolitan yang begitu semangat merebutnya dari saya.
Saya egois? Anggap saja
kali ini iya.
Kami berjalan melewati
sawah dan akhirnya tiba di sebuah bangunan sederhana. Kandang sapi terlihat
mencolok di balik bilik tua, rumah sementara kami. Tiara tersenyum sesaat lalu
masuk ke dalam rumah tersebut, tapi saya tau, dia sedang meyakini hatinya.
Saya bisa lihat dia
langsung mencari kamar untuk ditidurinya, mungkin masih ngantuk, tapi saya tau,
dia hanya ingin menangis.
Apakah seorang manusia
terkutuk untuk menjadi egois? Memperjuangkan cinta yang begitu nyata dan ingin
terus bersama? Apakah Tiara harusnya ada di pelaminan bersama orang lain? Dan
apakah saya hanya tidak punya hak untuk memiliki makhluk seindah Tiara?
Saya kira setiap insan
diciptakan berdua-berdua. Dan saat mereka sudah berhasil menemukan pasangan
yang diciptakan bersama itu, tidak ada alasan bagi orang lain untuk bisa
menentang.
Kenapa saya hanya tidak
bisa menikmati cinta ini?
Ya. Sejenak timbul pikiran
itu, pikiran dimana mungkin Tiara memang bukan yang diciptakan bersama saya.
Tapi merasakannya ada
dipelukkan, saya tidak yakin bisa ada wanita lain yang bisa sebegitu pasnya
tertidur di dada saya. Tulang saya seperti meraung namanya. Saya hanya berharap tujuh tahun sudah cukup menjadi bukti saya
menemukan orang yang tepat.
Menangislah sayang, lalu
kamu bisa puas tidur sampai besok matahari sudah tepat di atas kepala. Saya
mengelus rambut Tiara lembut.
*
Benarkah ungkapan itu? Menggenggam
burung terlalu erat hanya akan membuat burung itu mati. Kadang saya
berpikir ini adalah sebuah awal dari hasil penantian terpanjang saya. Namun,
hanya butuh waktu 84 hari untuk menghancurkan tujuh tahun. 84 hari dikalikan 15
jam. 1.260 jam waktu yang dihabiskan Tiara untuk menangis. Haruskah saya terus
menjadi egois?
Tiara duduk di pinggir
jendela tanpa menyentuh makanan yang saya sediakan. Sesekali dia menengok ke
arah saya dan tersenyum parau.
Saya tidak lain hanya
menyiksanya. Hati saya seperti menjadi pemenang yang paling pengecut.
"Tiara." Panggil
saya pelan dan duduk di sampingnya.
"Ya?" Jawabnya
sambil menempelkan kepala mungilnya di dada saya. Sekali lagi perasaan itu ada,
perasaan dimana saya merasa Tiara diciptakan memang untuk saya. Tapi, saya
sudah memutuskan diri untuk berhenti jadi pemenang.
"Kamu mau pulang
saja?"
"Tidak."
"Kamu tidak bisa
terus di sini dan menangis. Kamu buang-buang air mata."
"Saya tidak menangis
sekarang, rasanya air mata saya habis."
"Buat apa kamu ada di
sini kalau kamu sebenarnya merindukan keluarga kamu?"
"Karna kamu ada di
sini."
"Tapi bukan saya yang
kamu butuhkan. Bukan manusia yang bisa memeluk kamu sekarang. Kamu tidak akan
merasa cukup, tidak akan merasa aman."
Tiara terdiam. Saya
mengelus pipinya lembut.
"Tiara, kamu tau
kadang orang yang paling kita cintai adalah orang yang paling membahayakan?
Dia bisa mengambil begitu banyak bagian dari diri kita. Menyita begitu
banyak waktu. Dan menjadi orang yang paling berkuasa untuk membunuh kita
pelan-pelan. Simpelnya, kita akan memberikan apapun, segalanya untuk
dia. Mungkin itu sebabnya kita punya rasa ingin memiliki. Salah satu
sisi paling egois semua manusia. Untuk menjadi yang paling dicintai. Karna
saat kita tau bahwa kita dicintai sama besarnya dan memiliki bagian dari
dirinya yang sama besarnya, saat itu kita merasa aman. Kita tidak
terancam berantakan. Lalu apa jadinya jika tidak dicintai sama besarnya?
Beberapa dari mereka munafik belajar untuk merelakan, yang lainnya tidak
bisa menerima."
Tiara akhirnya membuka
mulutnya "Maksud kamu menceritakan itu?"
Sejenak saya terdiam,
memastikan saya tidak akan menyesal untuk mengucapkan lanjutan kalimat
saya. Tiara menunggu jawaban saya. Satu-satunya yang terdengar hidup hanya
jam dinding. Keheningan lagi-lagi menjadi soundtrack sementara.
"Saya mau kamu
kembali ke Jakarta."
Wanita itu tersentak lalu
mengangkat kepalanya dari dada saya, sekilas saya merasakan ada yang hilang.
"Saya benci sisi
egois itu. Untuk membiarkan kamu di sini, memiliki kamu, sementara yang kamu
butuhkan ada di kota itu. Keluarga kamu ada di sana, dan kita mungkin hanya
sekedar cinta yang seharusnya tidak dipaksakan. Sekalipun saya tetap mau
pelihara cinta kita, bukan ini jalan yang akan saya pakai. Saya lebih rela
merasa ketakutan untuk berantakan seperti tujuh tahun kemarin, dibanding
menjadi manusia paling buruk dan egois untuk mempertahankan kamu selama 84 hari
ini. Sebut saya munafik, tapi ya, saya tidak butuh pengorbanan kamu
yang sama besarnya. Saya tidak butuh dicintai kamu sama besarnya."
Air mata Tiara turun lagi.
Saya langsung menangkapnya.
"Kamu belum kehabisan
air mata, Tapi jika kamu menangis terus nanti bisa habis...."
Tapi, diam-diam saya juga
tau bahwa menahan air mata sebanding sulitnya dengan menahan nafas. Hanya saja
saya tidak ingin ada satupun air mata yang jatuh di depan Tiara, saya lebih
memilih kesulitan bernafas. Saya
dapat merasakan Tiara memeluk saya dan membasahi pundak saya dengan air
matanya.
Dan sungguh, percayalah, melepaskan
itu sama menyakitkannya dengan dilepaskan.
"Saya mau berhenti
menangis." Balas Tiara pelan berbisik.
Butuh waktu 2 jam untuk
menyiapkan segala kepulangannya. Jangan sampai seumur hidup untuk menyembuhkan
lukanya. Saya memilih untuk tidak mengantarnya ke Jakarta, bisa-bisa saya batal
rela melepaskan dia selama di perjalanan kereta. Tiara memeluk saya sekali
lagi, pelukkan paling erat yang pernah saya dapat darinya. Pelukkan yang
paling menyakitkan yang menyimpan makna selamat tinggal.
Butuh 44 menit menyadari
dia sudah meninggalkan Bantul dan sekarang sudah duduk manis di gerbong-gerbong
besi itu. Butuh 46 menit untuk membuat saya berbalik pulang dan berhenti
berharap ada seorang wanita yang batal naik keretanya ke Jakarta.
Saya memandang stasiun ini
sekali lagi sebelum beranjak pergi. Masih teringat 84 hari yang lalu saat saya
datang dengan begitu tulusnya harapan.
Dan mungkin ini adalah
cara yang paling tepat untuk melepaskan Tiara.
Menikmati sakitnya.
Apa yang kita temukan? Apa
yang kita harapkan? Apakah sesuai? Atau ini semua hanyalah kumpulan rencana
hukum bumi yang seharusnya terjadi?
Saya ingat senyuman wanita
itu.
Sejenak saya merasa
beruntung pernah menikmati senyumannya.
"Hati-hati ya sayang,
biar berhenti kamu menangis, biar tidak habis persediaan air matanya, jangan
bosan tersenyum, Tiara"
Tiara...
No comments:
Post a Comment