Sekumpulan bahasa pribadi.

Lalu bahasa hanyalah sekedar perantara.
Hati adalah sumber dari segalanya.
Tidak perlu dipahami, tapi butuh dirasakan.

Tuesday 11 October 2011

Tiara, Jakarta - Bantul - Jakarta

Sebenarnya apa yang kita cari? Rumah megah berhektar-hektar? Level tinggi kepopuleran dan undangan setiap malam? Pajangan berlian? Koleksi baju mewah dan label bermerek? Atau hanya satu tingkat istimewa dari prioritas seseorang yang paling spesial?

Make up-nya sudah separuh memudar, dan dia tidur di sisi saya dengan damai. Saya yakin dia pasti lelah setelah semalaman saya ajak ke dunia paling liar yang tidak pernah dimasukinya. Saat itu sekitar pukul 10.30 saat saya melontarkan pertanyaan paling gila. "Kita kabur, kamu mau?" Dan dengan mimik wajah kaget terpana, dia menjawab "Iya".
Satu kata yang akhirnya membawa saya ada di kereta ini dengannya.

Tujuan : Lebih dari sekedar kota kecil bernama Bantul, kami sedang menuju ke hidup paling bahagia yang akan kami ciptakan bersama.

Sebuah pertimbangan yang begitu matang. Keputusan yang telah memakan waktu tujuh tahun. Keputusan untuk menunjukkan tujuan mana yang akan kami ambil. Tujuh tahun dalam perasaan cinta diam-diam. Perasaan yang saya tidak mengerti malah ditentang orang-orang. Padahal yang ada hanyalah perasaan tulus yang menyempurnakan arti kata gratuit. Konsep cinta gratis tanpa balasan.

"Pagi" Dia terdengar berbisik serak. Matanya akhirnya membuka. Saya menikmati fenomena bulu mata yang lentik itu bergerak. 
"Pagi, Sayang" Ucap saya singkat, tidak ingin kata-kata menghancurkan momen langka ini. Menikmati wajahnya yang baru bangun tidur dan belum dibedaki lagi. Menikmati ciuman kilatnya di pipi dengan mulut belum sikat gigi. Dan make-up bekas semalam yang tidak sempat dihapus. Ini keindahan tanpa berpura-pura. Kejujuran paling kasat mata.
"Kita sudah ada di mana?" Ucapnya lagi. Suaranya terdengar sangat manis. Bergema di setiap sudut ruang otak saya. 
"Harusnya hampir sampai" Jawab saya pelan lalu mencium keningnya. Makhluk yang bersender manja di dada saya ini sungguh -sungguh makhluk langka yang begitu memukau.
Sebenarnya apa yang saya cari? Yang saya dapatkan? Atau mungkin yang saya rebut? Dia itu seperti tempaan permata yang indah tanpa pemilik.
Lalu kami kembali diam. Keheningan yang mewakili kata-kata yang tidak tercipta. Bukan hal yang baru kami begitu sering kehabisan bahasa. Mereka begitu terbatas untuk dapat menjelaskan apa yang sebenarnya manusia rasakan.

Tepat pukul 8 pagi kami akhirnya sampai di kota itu. Kota Bantul di mana teman saya menyediakan rumahnya yang bisa di pakai sementara. Saya tidak sabar hidup bersamanya. Tidak sabar untuk mencari pekerjaan, menabung sedikit-sedikit sampai bisa mengontrak rumah atau malah membeli sepetak tanah kecil.
Tiara menggenggam tangan saya erat saat berjalan menyusuri desa, berjalan menyusuri kehidupan baru kami. Seperti ketakutan tapi terlalu terlambat untuk melangkah mundur. Dan saya akan selalu ada untuknya. Kebahagiaannya adalah tujuan saya.
"Kamu tidak apa-apa?" Tanya saya pada Tiara yang terlihat berpikir keras.
"Tidak apa-apa, saya hanya ingat Ibu. Dia sudah berhenti menangis belum ya? Pasti dia langsung terpukul begitu tau saya kabur."
Saya menghela nafas. Entah mengapa rasanya separuh dari Tiara tidak ada di dalam tubuhnya. Tertinggal di kota metropolitan yang begitu semangat merebutnya dari saya. 
Saya egois? Anggap saja kali ini iya.

Kami berjalan melewati sawah dan akhirnya tiba di sebuah bangunan sederhana. Kandang sapi terlihat mencolok di balik bilik tua, rumah sementara kami. Tiara tersenyum sesaat lalu masuk ke dalam rumah tersebut, tapi saya tau, dia sedang meyakini hatinya.

Saya bisa lihat dia langsung mencari kamar untuk ditidurinya, mungkin masih ngantuk, tapi saya tau, dia hanya ingin menangis.

Apakah seorang manusia terkutuk untuk menjadi egois? Memperjuangkan cinta yang begitu nyata dan ingin terus bersama? Apakah Tiara harusnya ada di pelaminan bersama orang lain? Dan apakah saya hanya tidak punya hak untuk memiliki makhluk seindah Tiara? 

Saya kira setiap insan diciptakan berdua-berdua. Dan saat mereka sudah berhasil menemukan pasangan yang diciptakan bersama itu, tidak ada alasan bagi orang lain untuk bisa menentang.
Kenapa saya hanya tidak bisa menikmati cinta ini? 
Ya. Sejenak timbul pikiran itu, pikiran dimana mungkin Tiara memang bukan yang diciptakan bersama saya.
Tapi merasakannya ada dipelukkan, saya tidak yakin bisa ada wanita lain yang bisa sebegitu pasnya tertidur di dada saya. Tulang saya seperti meraung namanya. Saya hanya berharap tujuh tahun sudah cukup menjadi bukti saya menemukan orang yang tepat.

Menangislah sayang, lalu kamu bisa puas tidur sampai besok matahari sudah tepat di atas kepala. Saya mengelus rambut Tiara lembut.

*

Benarkah ungkapan itu? Menggenggam burung terlalu erat hanya akan membuat burung itu mati. Kadang saya berpikir ini adalah sebuah awal dari hasil penantian terpanjang saya. Namun, hanya butuh waktu 84 hari untuk menghancurkan tujuh tahun. 84 hari dikalikan 15 jam. 1.260 jam waktu yang dihabiskan Tiara untuk menangis. Haruskah saya terus menjadi egois?

Tiara duduk di pinggir jendela tanpa menyentuh makanan yang saya sediakan. Sesekali dia menengok ke arah saya dan tersenyum parau.
Saya tidak lain hanya menyiksanya. Hati saya seperti menjadi pemenang yang paling pengecut.
"Tiara." Panggil saya pelan dan duduk di sampingnya.
"Ya?" Jawabnya sambil menempelkan kepala mungilnya di dada saya. Sekali lagi perasaan itu ada, perasaan dimana saya merasa Tiara diciptakan memang untuk saya. Tapi, saya sudah memutuskan diri untuk berhenti jadi pemenang.
"Kamu mau pulang saja?"
"Tidak."
"Kamu tidak bisa terus di sini dan menangis. Kamu buang-buang air mata."
"Saya tidak menangis sekarang, rasanya air mata saya habis."
"Buat apa kamu ada di sini kalau kamu sebenarnya merindukan keluarga kamu?"
"Karna kamu ada di sini."
"Tapi bukan saya yang kamu butuhkan. Bukan manusia yang bisa memeluk kamu sekarang. Kamu tidak akan merasa cukup, tidak akan merasa aman."
Tiara terdiam. Saya mengelus pipinya lembut.
"Tiara, kamu tau kadang orang yang paling kita cintai adalah orang yang paling membahayakan? Dia bisa mengambil begitu banyak bagian dari diri kita. Menyita begitu banyak waktu. Dan menjadi orang yang paling berkuasa untuk membunuh kita pelan-pelan. Simpelnya, kita akan memberikan apapun, segalanya untuk dia. Mungkin itu sebabnya kita punya rasa ingin memiliki. Salah satu sisi paling egois semua manusia. Untuk menjadi yang paling dicintai. Karna saat kita tau bahwa kita dicintai sama besarnya dan memiliki bagian dari dirinya yang sama besarnya, saat itu kita merasa aman. Kita tidak terancam berantakan. Lalu apa jadinya jika tidak dicintai sama besarnya? Beberapa dari mereka munafik belajar untuk merelakan, yang lainnya tidak bisa menerima."
Tiara akhirnya membuka mulutnya "Maksud kamu menceritakan itu?"

Sejenak saya terdiam, memastikan saya tidak akan menyesal untuk mengucapkan lanjutan kalimat saya. Tiara menunggu jawaban saya. Satu-satunya yang terdengar hidup hanya jam dinding. Keheningan lagi-lagi menjadi soundtrack sementara.

"Saya mau kamu kembali ke Jakarta."
Wanita itu tersentak lalu mengangkat kepalanya dari dada saya, sekilas saya merasakan ada yang hilang.
"Saya benci sisi egois itu. Untuk membiarkan kamu di sini, memiliki kamu, sementara yang kamu butuhkan ada di kota itu. Keluarga kamu ada di sana, dan kita mungkin hanya sekedar cinta yang seharusnya tidak dipaksakan. Sekalipun saya tetap mau pelihara cinta kita, bukan ini jalan yang akan saya pakai. Saya lebih rela merasa ketakutan untuk berantakan seperti tujuh tahun kemarin, dibanding menjadi manusia paling buruk dan egois untuk mempertahankan kamu selama 84 hari ini. Sebut saya munafik, tapi ya, saya tidak butuh pengorbanan kamu yang sama besarnya. Saya tidak butuh dicintai kamu sama besarnya."
Air mata Tiara turun lagi. Saya langsung menangkapnya.
"Kamu belum kehabisan air mata, Tapi jika kamu menangis terus nanti bisa habis...."
Tapi, diam-diam saya juga tau bahwa menahan air mata sebanding sulitnya dengan menahan nafas. Hanya saja saya tidak ingin ada satupun air mata yang jatuh di depan Tiara, saya lebih memilih kesulitan bernafas. Saya dapat merasakan Tiara memeluk saya dan membasahi pundak saya dengan air matanya.
Dan sungguh, percayalah, melepaskan itu sama menyakitkannya dengan dilepaskan.

"Saya mau berhenti menangis." Balas Tiara pelan berbisik.

Butuh waktu 2 jam untuk menyiapkan segala kepulangannya. Jangan sampai seumur hidup untuk menyembuhkan lukanya. Saya memilih untuk tidak mengantarnya ke Jakarta, bisa-bisa saya batal rela melepaskan dia selama di perjalanan kereta. Tiara memeluk saya sekali lagi, pelukkan paling erat yang pernah saya dapat darinya. Pelukkan yang paling menyakitkan yang menyimpan makna selamat tinggal.
Butuh 44 menit menyadari dia sudah meninggalkan Bantul dan sekarang sudah duduk manis di gerbong-gerbong besi itu. Butuh 46 menit untuk membuat saya berbalik pulang dan berhenti berharap ada seorang wanita yang batal naik keretanya ke Jakarta.
Saya memandang stasiun ini sekali lagi sebelum beranjak pergi. Masih teringat 84 hari yang lalu saat saya datang dengan begitu tulusnya harapan.

Dan mungkin ini adalah cara yang paling tepat untuk melepaskan Tiara.
Menikmati sakitnya.

Apa yang kita temukan? Apa yang kita harapkan? Apakah sesuai? Atau ini semua hanyalah kumpulan rencana hukum bumi yang seharusnya terjadi?
Saya ingat senyuman wanita itu.
Sejenak saya merasa beruntung pernah menikmati senyumannya.

"Hati-hati ya sayang, biar berhenti kamu menangis, biar tidak habis persediaan air matanya, jangan bosan tersenyum, Tiara"


Tiara...

No comments: