Sekumpulan bahasa pribadi.

Lalu bahasa hanyalah sekedar perantara.
Hati adalah sumber dari segalanya.
Tidak perlu dipahami, tapi butuh dirasakan.

Sunday, 31 January 2016

Kita Yang Sama

Lalu kamu duduk di sana di samping jendela, menunggu. Dan, saya tidak langsung masuk untuk menyapa. Saya ingin memperhatikan kamu lebih lama lagi. Menyimak kelakuan kamu yang sangat familiar dengan kaki bergoyang tampak gelisah. Tapi, kamu sebenarnya tidak gelisah. Hanya itu memang kebiasaan sejak dulu. Percayalah saya selalu mengenal kamu. Mengenal cukup lama sampai saya paham detail kelakukan kamu.

Akan seperti apakah kita? Mungkin tutur kata akan terlontar canggung, jemari meremas-remas gagang cangkir kopi panas, atau pandangan mata yang tidak berani untuk saling mengunci. Terus berputar ke sana kemari takut ketahuan salah tingkah. Tapi, bagaimana mana pun itu nantinya, toh saya sudah memutuskan untuk mengiyakan ajakan kamu. Diam-diam rindu juga ingin tahu seperti apa rentang waktu lima tahun telah mendewasakan kamu. Maka, melangkahlah saya masuk ke dalam kafe itu. Bersiap menyapa kamu yang dulu sekali pernah mengisi hati. 


*

Apakah dia akan datang? Atau malah sengaja menjebak saya untuk menunggu dengan detak hati tak beraturan begini? Atau mungkin dia sudah datang, tapi tidak dapat mengenali saya dengan posisi wajah kaku tidak tenang? Saya sesekali menengok ke sekeliling ruangan, kafe kecil ini tidak mungkin menyimpan dia tanpa terlihat. Wajahnya begitu aktif saya perhatikan di sosial media mana pun. Saya hafal garis dahi sampai ke dagunya. Begitu inginnya saya menyaksikan secara langsung lekukan wajah itu di depan mata. Berbincang tentang luar angkasa, dan saya bisa melihat dia tersenyum semangat.

Akan seperti apakah suaranya saat menyapa saya nanti? Atau pandangannya saat menatap mata saya? Apakah gerakan jarinya masih sama saat dia menyelipkan rambut di belakang telinga? Selama lima tahun, saya melewatkan hangat matanya yang mendelik atau senandung suaranya bernyanyi lagu di radio. Dulu ada label milik saya di keningnya. Sekarang yang saya mampu lakukan hanya menunggu dia yang bukan milik siapa-siapa. Untuk saat ini, saya hanya sekedar berharap bahwa dia akan datang. Itu saja harusnya cukup.

Lalu, dia pun membuka pintu kaca dan tersenyum ke arah saya.
Leganya saya tidak dapat dituliskan.


*

"Waktu menyetir ke sini, kamu tidak terjebak macet kan?" Pertanyaan pertama kamu. Membuka perbincangan kita dengan mata memandang interior ruangan, tapi saya bisa lihat senyum khas kamu berbicara tentang jalanan. Kamu selalu hafal arah, nilai A+ saat membaca peta. Saya bisa ingat kembali cerewetnya kamu bergumam tentang jalan pintas paling efisien. Saya pun tersenyum dan menggeleng.
"Tidak. Jalanannya lumayan lancar hari ini."
"Baguslah." Kamu kembali diam, menyisakan senyum di wajah tanpa tau harus bicara apa lagi. Saya juga bingung mau berkata apa. Oksigen di ruangan pun serasa berkurang drastis. Kamu terlihat gugup, percayalah saya juga sama gugupnya. Saya bisa memperhatikan tangan kamu memutar-mutar cangkir kopi, dan mata kamu kali ini menerawang keluar jendela.

"Bagaimana kehidupan selama 5 tahun ini?" Saya pun angkat bicara basa-basi. Siapa tau pertanyaan ini akhirnya bisa mengarah ke obrolan yang lebih serius.
"Hidup baik-baik saja. Sibuk dengan pekerjaan, tapi sejauh ini terasa menyenangkan. Kamu bagaimana?" Kamu lagi-lagi menghindari mata saya. Sekarang sibuk memandang sendok gula di sebelah kopi.

Saya berkata lembut, "Krisna, kenapa sekarang kalau kamu bicara, tidak pernah mau melihat saya?"


*

Sudah hampir dua jam kita berbincang di sini. Mencoba sebisa mungkin berbicara sambil memandang mata dia. Dada saya rasanya ingin meledak tidak karuan. Taukah dia, mata itu saya rindukan setengah mati? Jika terus menerus bertatapan, saya takut kontrol tubuh bisa hilang dan saya lalu loncat memeluk dia habis-habisan. Tidak ingin melepaskan karena posesif takut dia lenyap diculik takdir.

"Kamu masih suka bintang?" Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulut saya. Hanya karena saya bisa melihat bintang di matanya setiap kali bola mata itu bergerak. Dia tersenyum, lalu neuron di otak saya terasa mati sesaat. Lemah, tidak tau respon apa yang harus dijalankan. Semua terasa campur aduk.
"Tentu saja. Saya malah sering berburu bintang jatuh setahun kemarin. Mendaki gunung atau ke hutan tengah malam." Jawabnya dengan mata semakin berbinar. Saya tau dia selalu jatuh cinta pada galaksi di luar sana.
"Sayang sekali ya di kota ini, bintang kalah bersinar dengan lampu gedung. Pergi jauh dari kota pun, sinarnya tetap terlihat memantul di langit. Makin sulit untuk lihat bintang dengan mata telanjang." Dia melanjutkan lagi.
"Saya tau tempat cantik untuk lihat bintang, saya tau banyak lokasi di dekat kota ini. Kapan-kapan saya ajak kamu, mau?"
Dia lalu terdiam sebentar sebelum menjawab, "Dari dulu, kamu selalu tau tempat mana yang cocok untuk hobi-hobi saya ya."
"Dari dulu saya memang selalu tau kegemaran kamu. Mana yang akan kamu suka, mana yang tidak."
"Karena dari dulu, kamu selalu tau banyak hal. Banyak ilmu dan banyak informasi. Apalagi soal tempat." Dia tersenyum lagi.
"Dan, dari dulu, saya memang selalu ingin bawa kamu ke banyak tempat. Sayang kita terbatas waktu."
"Maaf, dulu saya harus pergi dari kota ini."

Kali ini saya yang terdiam sesaat sebelum menjawab,
"Tidak apa-apa, yang penting sekarang kamu sudah pulang."

*

Rupanya saya merindukan kamu lebih dari yang saya kira. Bukan hanya sebatas berbicara dengan kamu, tapi biasanya saya bisa meletakan punggung tangan di bawah telapak tangan kamu dengan sesuka hati. Saya biasanya tidak duduk berhadapan dengan kamu, saya akan memilih kursi di samping kamu. Lalu menyenderkan kepala di pundak kamu sambil bermanja minta dirangkul. Apa jadinya jika kita tidak menyerah karena perbedaan kota dan waktu pada saat itu? Apakah saat saya pulang sekarang, nyaman punggung kamu masih sama untuk disenderi? 

"Apa sebenarnya maksud kamu mengajak saya bertemu di sini?" Saya akhirnya bertanya. Bukan hanya karena kamu tau saya sudah kembali, lalu kamu penasaran atas kabar saya. Tapi, saya butuh tau apa yang kamu harapkan dari pertemuan ini. Sebelum saya menyimpulkan bahwa kamu juga sama inginnya untuk memeluk saya saat ini. Sebelum saya melambung tinggi, mengira kamu rupanya menunggu saya kembali selama ini.
"Saya dengar kamu sudah kembali. Saya....."Kamu menghela nafas. Membiarkan suara mesin kopi mengisi keheningan. Saya menunggu dengan detak jantung tidak teratur. Tidak mau mengucapkan sepatah kata pun sampai kamu melanjutkan ucapan kamu. Hal itu penting adanya. 

"Saya rindu kamu setengah mati." Jawab kamu akhirnya. Rongga di hati saya hangat seketika. Kamu yang pernah melekat di dada begitu erat, tidak mungkin kalimat itu tidak berefek pada sistem tubuh saya. Seluruh partikel terasa buyar seperti kembang api yang meledak.

"Saya tidak pernah berhenti memikirkan kamu. Menyesal atas keputusan kita saat dulu menyerah pada jarak. Padahal kamu tidak layak untuk itu. Kamu patut untuk ditunggu.....

Karena saya tau kamu akan pulang." Lanjut kamu lagi.

Saya bisa ingat kembali sulitnya melepaskan kamu saat itu. Rasanya semua luka saat itu bisa saya rasakan lagi sekarang. Saya bisa melihat bayangan saya di mata kamu. Baru kali ini kamu menatap saya sungguh-sungguh selama dua jam terakhir. Saya pun juga merindukan kamu, apalagi tatapan itu.

"Saya juga menyesal, Krisna. Kenapa kita menyerah? Padahal yang membentang di antara kita hanya Samudra Hindia." Lalu kita berdua pun terdiam. Kali ini sama-sama menatap cangkir masing-masing. Melepaskan pandangan yang tadi sempat terkunci cukup lama.

*

Saya menemaninya saat dia masuk ke dalam mobil itu. Dan saya hanya bisa menunggu mobilnya berlalu dengan tangan terlipat di depan dada sampai dia hilang dari pandangan. Saya tidak mampu beraksi lebih, membiarkan hati tersiksa karena rindu yang masih belum tersalurkan.

...

Lalu, saat dia melambaikan tangan dan siap melaju, saat itu dengan entah kesadaran macam apa, saya berlari ke arah jendela mobilnya. Takut kesempatan saat ini musnah dan saya harus menunggu lima tahun lagi.
"Jika masih ada sisa celah di hati kamu untuk saya, izinkan saya untuk memulai lagi?"
Dia tampak terkejut dengan pertanyaan paling tidak basa-basi yang saya lontarkan.

"Kehilangan kamu menyadarkan saya betapa sulitnya menemukan kamu. Tapi, saya pernah hafal setengah mati jalan menuju kamu. Sejauh apapun saya melangkah, jalurnya akan tetap membawa hati ini kembali pada kamu."
Saya terdiam sejenak sebelum melanjutkan, "Bisakah kamu mengizinkan saya memulai dari awal lagi?"

*

Dengan segala perasaan campur aduk, dengan kaki masih menginjak rem mobil dan nafas yang tertahan, sesungguhnya, pertanyaan itu yang saya harap akan dia ucapkan sejak tadi.

Karena, sama dengannya, hati saya juga tidak bisa lepas terlalu lama. Layaknya seperti magnet, hati saya akan selalu tertarik menuju dia.
Saya kemudian tersenyum.
Jawabannya begitu mudah

... 

"Tentu saja."

Jatuh cinta pada kamu begitu mudah. Itu saja, sudah cukup kembali menghangatkan hati. Itu saja, sudah cukup membuat kita untuk berjuang kembali.

*

No comments: