Lalu kamu duduk di sana di
samping jendela, menunggu. Dan, saya tidak langsung masuk untuk menyapa. Saya
ingin memperhatikan kamu lebih lama lagi. Menyimak kelakuan kamu yang sangat
familiar dengan kaki bergoyang tampak gelisah. Tapi, kamu sebenarnya tidak gelisah.
Hanya itu memang kebiasaan sejak dulu. Percayalah saya selalu mengenal
kamu. Mengenal cukup lama sampai saya paham detail kelakukan kamu.
Akan seperti apakah kita?
Mungkin tutur kata akan terlontar canggung, jemari meremas-remas gagang cangkir
kopi panas, atau pandangan mata yang tidak berani untuk saling mengunci. Terus
berputar ke sana kemari takut ketahuan salah tingkah. Tapi, bagaimana mana pun
itu nantinya, toh saya sudah memutuskan untuk mengiyakan ajakan kamu. Diam-diam
rindu juga ingin tahu seperti apa rentang waktu lima tahun telah mendewasakan
kamu. Maka, melangkahlah saya masuk ke dalam kafe itu. Bersiap menyapa kamu
yang dulu sekali pernah mengisi hati.
*
Apakah dia akan datang? Atau
malah sengaja menjebak saya untuk menunggu dengan detak hati tak beraturan
begini? Atau mungkin dia sudah datang, tapi tidak dapat mengenali saya
dengan posisi wajah kaku tidak tenang? Saya sesekali menengok ke
sekeliling ruangan, kafe kecil ini tidak mungkin menyimpan dia tanpa terlihat. Wajahnya
begitu aktif saya perhatikan di sosial media mana pun. Saya hafal garis dahi
sampai ke dagunya. Begitu inginnya saya menyaksikan secara langsung
lekukan wajah itu di depan mata. Berbincang tentang luar angkasa, dan saya
bisa melihat dia tersenyum semangat.
Akan seperti apakah suaranya
saat menyapa saya nanti? Atau pandangannya saat menatap mata saya? Apakah
gerakan jarinya masih sama saat dia menyelipkan rambut di belakang telinga? Selama
lima tahun, saya melewatkan hangat matanya yang mendelik atau senandung
suaranya bernyanyi lagu di radio. Dulu ada label milik saya di keningnya.
Sekarang yang saya mampu lakukan hanya menunggu dia yang bukan milik
siapa-siapa. Untuk saat ini, saya hanya sekedar berharap bahwa dia akan
datang. Itu saja harusnya cukup.
Lalu, dia pun membuka pintu kaca
dan tersenyum ke arah saya.
Leganya saya tidak dapat
dituliskan.
*
"Waktu menyetir ke sini,
kamu tidak terjebak macet kan?" Pertanyaan pertama kamu. Membuka
perbincangan kita dengan mata memandang interior ruangan, tapi saya bisa lihat
senyum khas kamu berbicara tentang jalanan. Kamu selalu hafal arah, nilai A+
saat membaca peta. Saya bisa ingat kembali cerewetnya kamu bergumam tentang
jalan pintas paling efisien. Saya pun tersenyum dan menggeleng.
"Tidak. Jalanannya
lumayan lancar hari ini."
"Baguslah." Kamu
kembali diam, menyisakan senyum di wajah tanpa tau harus bicara apa lagi. Saya
juga bingung mau berkata apa. Oksigen di ruangan pun serasa berkurang drastis.
Kamu terlihat gugup, percayalah saya juga sama gugupnya. Saya bisa
memperhatikan tangan kamu memutar-mutar cangkir kopi, dan mata kamu kali ini
menerawang keluar jendela.
"Bagaimana kehidupan
selama 5 tahun ini?" Saya pun angkat bicara basa-basi. Siapa tau
pertanyaan ini akhirnya bisa mengarah ke obrolan yang lebih serius.
"Hidup baik-baik saja.
Sibuk dengan pekerjaan, tapi sejauh ini terasa menyenangkan. Kamu
bagaimana?" Kamu lagi-lagi menghindari mata saya. Sekarang sibuk memandang
sendok gula di sebelah kopi.
Saya berkata lembut, "Krisna,
kenapa sekarang kalau kamu bicara, tidak pernah mau melihat saya?"
*
Sudah hampir dua jam kita
berbincang di sini. Mencoba sebisa mungkin berbicara sambil memandang mata dia.
Dada saya rasanya ingin meledak tidak karuan. Taukah dia, mata itu saya
rindukan setengah mati? Jika terus menerus bertatapan, saya takut kontrol
tubuh bisa hilang dan saya lalu loncat memeluk dia habis-habisan. Tidak ingin
melepaskan karena posesif takut dia lenyap diculik takdir.
"Kamu masih suka bintang?"
Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulut saya. Hanya karena saya bisa
melihat bintang di matanya setiap kali bola mata itu bergerak. Dia
tersenyum, lalu neuron di otak saya terasa mati sesaat. Lemah, tidak tau respon
apa yang harus dijalankan. Semua terasa campur aduk.
"Tentu saja. Saya malah
sering berburu bintang jatuh setahun kemarin. Mendaki gunung atau ke hutan
tengah malam." Jawabnya dengan mata semakin berbinar. Saya tau dia selalu
jatuh cinta pada galaksi di luar sana.
"Sayang sekali ya di kota
ini, bintang kalah bersinar dengan lampu gedung. Pergi jauh dari kota pun,
sinarnya tetap terlihat memantul di langit. Makin sulit untuk lihat bintang
dengan mata telanjang." Dia melanjutkan lagi.
"Saya tau tempat cantik
untuk lihat bintang, saya tau banyak lokasi di dekat kota ini. Kapan-kapan saya
ajak kamu, mau?"
Dia lalu terdiam sebentar
sebelum menjawab, "Dari dulu, kamu selalu tau tempat mana yang cocok untuk
hobi-hobi saya ya."
"Dari dulu saya memang
selalu tau kegemaran kamu. Mana yang akan kamu suka, mana yang tidak."
"Karena dari dulu, kamu
selalu tau banyak hal. Banyak ilmu dan banyak informasi. Apalagi soal
tempat." Dia tersenyum lagi.
"Dan, dari dulu, saya
memang selalu ingin bawa kamu ke banyak tempat. Sayang kita terbatas
waktu."
"Maaf, dulu saya harus
pergi dari kota ini."
Kali ini saya yang terdiam
sesaat sebelum menjawab,
"Tidak apa-apa, yang
penting sekarang kamu sudah pulang."
*
Rupanya saya merindukan kamu
lebih dari yang saya kira. Bukan hanya sebatas berbicara dengan kamu, tapi
biasanya saya bisa meletakan punggung tangan di bawah telapak tangan kamu
dengan sesuka hati. Saya biasanya tidak duduk berhadapan dengan kamu, saya akan
memilih kursi di samping kamu. Lalu menyenderkan kepala di pundak kamu sambil
bermanja minta dirangkul. Apa jadinya jika kita tidak menyerah karena
perbedaan kota dan waktu pada saat itu? Apakah saat saya pulang sekarang,
nyaman punggung kamu masih sama untuk disenderi?
"Apa sebenarnya maksud
kamu mengajak saya bertemu di sini?" Saya akhirnya bertanya. Bukan hanya
karena kamu tau saya sudah kembali, lalu kamu penasaran atas kabar saya. Tapi,
saya butuh tau apa yang kamu harapkan dari pertemuan ini. Sebelum saya
menyimpulkan bahwa kamu juga sama inginnya untuk memeluk saya saat ini. Sebelum
saya melambung tinggi, mengira kamu rupanya menunggu saya kembali selama ini.
"Saya dengar kamu sudah
kembali. Saya....."Kamu menghela nafas. Membiarkan suara mesin kopi
mengisi keheningan. Saya menunggu dengan detak jantung tidak
teratur. Tidak mau mengucapkan sepatah kata pun sampai kamu melanjutkan
ucapan kamu. Hal itu penting adanya.
"Saya rindu kamu setengah
mati." Jawab kamu akhirnya. Rongga di hati saya hangat seketika. Kamu yang
pernah melekat di dada begitu erat, tidak mungkin kalimat itu tidak berefek
pada sistem tubuh saya. Seluruh partikel terasa buyar seperti kembang api yang
meledak.
"Saya tidak pernah
berhenti memikirkan kamu. Menyesal atas keputusan kita saat dulu menyerah pada
jarak. Padahal kamu tidak layak untuk itu. Kamu patut untuk ditunggu.....
Karena saya tau kamu akan pulang."
Lanjut kamu lagi.
Saya bisa ingat kembali
sulitnya melepaskan kamu saat itu. Rasanya semua luka saat itu bisa saya
rasakan lagi sekarang. Saya bisa melihat bayangan saya di mata kamu. Baru kali
ini kamu menatap saya sungguh-sungguh selama dua jam terakhir. Saya pun juga
merindukan kamu, apalagi tatapan itu.
"Saya juga menyesal,
Krisna. Kenapa kita menyerah? Padahal yang membentang di antara kita hanya
Samudra Hindia." Lalu kita berdua pun terdiam. Kali ini sama-sama menatap
cangkir masing-masing. Melepaskan pandangan yang tadi sempat terkunci cukup
lama.
*
Saya menemaninya saat dia masuk
ke dalam mobil itu. Dan saya hanya bisa menunggu mobilnya berlalu dengan tangan
terlipat di depan dada sampai dia hilang dari pandangan. Saya tidak mampu
beraksi lebih, membiarkan hati tersiksa karena rindu yang masih belum
tersalurkan.
...
Lalu, saat dia melambaikan
tangan dan siap melaju, saat itu dengan entah kesadaran macam apa, saya berlari
ke arah jendela mobilnya. Takut kesempatan saat ini musnah dan saya harus
menunggu lima tahun lagi.
"Jika masih ada sisa celah
di hati kamu untuk saya, izinkan saya untuk memulai lagi?"
Dia tampak terkejut dengan
pertanyaan paling tidak basa-basi yang saya lontarkan.
"Kehilangan kamu
menyadarkan saya betapa sulitnya menemukan kamu. Tapi, saya pernah hafal
setengah mati jalan menuju kamu. Sejauh apapun saya melangkah, jalurnya akan
tetap membawa hati ini kembali pada kamu."
Saya terdiam sejenak sebelum
melanjutkan, "Bisakah kamu mengizinkan saya memulai dari awal lagi?"
*
Dengan segala perasaan campur
aduk, dengan kaki masih menginjak rem mobil dan nafas yang tertahan, sesungguhnya,
pertanyaan itu yang saya harap akan dia ucapkan sejak tadi.
Karena, sama
dengannya, hati saya juga tidak bisa lepas terlalu lama. Layaknya seperti magnet, hati saya akan selalu tertarik menuju dia.
Saya kemudian tersenyum.
Jawabannya begitu mudah
...
"Tentu saja."
Jatuh cinta pada kamu begitu
mudah. Itu saja, sudah cukup kembali menghangatkan hati. Itu saja, sudah cukup
membuat kita untuk berjuang kembali.
*
No comments:
Post a Comment