Sekumpulan bahasa pribadi.

Lalu bahasa hanyalah sekedar perantara.
Hati adalah sumber dari segalanya.
Tidak perlu dipahami, tapi butuh dirasakan.

Saturday 30 May 2015

This is How You Lose Him

Kamu menutup pintu, marah.
Saya berbalik tanpa mau menengok ke belakang, kecewa.

Siapa kita saat kita berdebat?
Entah kompetisi macam apa yang dipasang di arena.
Bahkan entah arena macam apa yang ada di antara kita.
Karena saya kira sebuah hubungan bukanlah perlombaan.
Siapa yang lebih menyakiti yang satunya, tidak akan menang.
Yang ada hanya luka.

Lalu kita akan sibuk untuk mengobati luka yang kita buat sendiri.
Coba heningkan lagi.

Saya berjalan menuju pulang sambil sesekali melihat handphone.
Berharap kamu akan sadar, bahwa saya menunggu.
Namun, percuma menunggu, kalau itu juga yang kamu lakukan.
Saya bukannya tidak tau bahwa kamu berharap saya mencari kamu lebih dulu.
Lalu, dinobatkan predikat 'lemah'.
Berputar-putar saja terus di situ. 
Sampai tenaga kita habis, dan tidak ada lagi yang tersisa untuk memperjuangkan satu sama lain.

Saya berhenti sejenak.
Di tempat ini, di kota ini, biasanya kita berbagi cerita.
Tertawa sampai paru-paru kita kehabisan oksigen.
Kenapa kita tidak menari saja di malam hari seperti yang biasa kita lakukan?
Atau tertawa dengan puasnya saat hari menjelang pagi?
Kenapa kita tidak saling memandang lama-lama dan dalam hati merasa sangat beruntung?
Kenapa kita tidak lagi bertukar cerita masa kecil, sambil berayun di taman dan melihat bintang?
Atau berbicara tentang masa depan, sambil makan es krim di tengah malam?

Kita berhenti mengejar kebahagiaan, seolah percaya bahwa hal itu sudah kita genggam erat.
Padahal, kebahagiaan sama tidak padatnya dengan awan.
Digenggam seerat apapun, harus tetap melompat tinggi untuk menyentuhnya.
Kita berhenti melompat. Lelah dengan segala usaha.
Sebenarnya alasannya mudah, hanya karena toleransi yang menipis dari kita berdua.
Lalu apa yang tersisa?

Saya menulis pesan kepada kamu, "Yang tertinggal hanya cinta. Tapi apakah itu cukup?"
Yang terasa hanya sakit. Cinta saja mulai diragukan fungsinya.

Kamu membalas pesan saya singkat, "Saya tidak tau lagi."
Sekejap saya baru sadar betapa rapuhnya hati manusia, bisa hancur dengan mudahnya oleh kata-kata.
Rasanya oksigen dalam paru-paru saya habis seketika, saya sesak tidak bisa bernafas.
Menangis saja rasanya tidak menyembuhkan. Saya ingin lenyap sementara.

Kepada kamu yang sbenarnya tidak jauh di balik pintu, ternyata hati kita sudah sejauh itu.
Bagaimana caranya kita bisa kembali ke tujuan yang sama?
Karna apapun sakit yang ada, yang saya pedulikan hanya kita.
Yang saya takutkan adalah kehilangan kita.

Saya membalas lagi, "Masih kuatkah kamu untuk maju?"
Karna jika tidak, saya akan siap membalas dengan lapang dada. Bukan untuk melepaskan kamu.
Namun, untuk berlari sejauh mungkin untuk menemukan kamu. Walau saya harus merangkak dan tenggelam.
Segala kekuatan yang tersisa, akan saya gunakan untuk mencari kamu sampai kita bisa kembali menjadi kita.
Walau dengan itu saya harus belajar terbang. Namun, mati di tengah jalan karna kelelahan.
Tapi kehilangan kamu sekarang sudah setara dengan kehampaan yang akan menjebak saya.

Karena predikat 'lemah' tidak lagi menakutkan saya. 
Saya berikan segala kepingan saya punya untuk kembali membangun kita.

Kamu pun akhirnya membalas, "Saya lelah. Saya menyerah."

Tidak butuh waktu lama untuk saya kembali berada di depan pintu kamu. Mengetuknya sambil berharap saya juga mengetuk hati kamu. 

Coba heningkan lagi.
Jika masih ada cinta yang tersangkut dan belum menguap, biar saya bantu dia tumbuh lagi.
Walau saya remuk dan retak.
Sakitnya akan bisa ditangani, kehampaan yang sebenarnya berbahaya.
Kekosongan yang bisa mengkonsumsi.
Jadi, izinkan saya yang hancur ini berjuang untuk kita.

Kamu membuka pintu. Saya menangis memohon agar kita tidak menyerah.
Kamu menggelengkan kepala, lalu menutup pintu.
Satu ayunan lengan yang menutup segala kisah yang kita tulis. 
Saya bisa melihat hati kamu juga menutup. Lalu kamu ternyata bisa terbang lebih dulu dan pergi menjauh sebelum saya bahkan belajar terbang.
Kamu lenyap dari segala sudut. Saya tidak bisa lagi menemukan.




....... Dan kamu tidak pernah kembali.


Tapi saya di dalam kehampaan ini, hanya bisa menunggu.
Jika kamu akhirnya kembali, saya masih diam di dimensi yang sama.
Maka, kembalilah suatu saat nanti. 

Sampai jumpa, kamu.



No comments: