Kamu. Dengan kopi hangat di dalam cangkir, berdiri di sana dengan begitu
memukau. Saya hanya bisa memandangi punggung itu dan dalam hati menikmati
setiap sentimeter lekukan tulang belakang. Saya hafal setengah mati postur
tubuh itu, sayang sekali untuk menyentuhnya sekarang akan ada penolakkan
besar-besaran dari hati dan logika. Kamu bukan lagi milik saya. Kamu hanya....
sekedar teman, yang kebetulan saya tau segalanya. Mulai dari makanan favorit
sampai penyakit masa kecil. Layaknya daftar permanen yang sudah ditanam di otak
tanpa sadar. Hebat bukan, bagaimana pikiran tetap bisa mengingat padahal hati
sempat hancur luar biasa karena kamu.
Namun, tenang saja.
Ingatan hanyalah ingatan.
Saya tidak berniat menyapa. Saya akan tetap terdiam di posisi saya
berdiri sekarang untuk menikmati kamu dari belakang. Tidak lebih.
Kamu untuk saya hanya ilusi. Raga yang ada di depan saya, bukan kamu
yang saya mau. Jiwa itu sudah pergi jauh dan tidak akan kembali.
Dan tidak apa-apa.
Memang begitu adanya.
Saya percaya bahwa jiwa akan selalu berkelana sampai bertemu ruang yang
tepat. Dalam perjalanannya, anggap saja bahwa saya hanyalah persinggahan jiwa
kamu. Kamu tidak seharusnya berada di sana lama-lama. Ruang itu tidak cocok
untuk kamu, bukan? Saya pun mengerti dan tidak memaksa.
Yang paling penting, kamu terlihat bahagia. Memandang kamu memandangi
alam di sudut itu sesaat memberikan saya kehangatan walaupun tanpa secangkir
kopi hangat. Melihat kamu menghirup udara sebanyak-banyaknya, membuat saya
berharap semoga oksigen pagi ini juga berisi kumpulan perasaan positif. Biar
kamu sudah penuh optimis lebih dahulu sebelum terkontaminasi dunia yang penuh
kerusuhan.
Tetaplah bahagia seperti pagi ini. Bila harus jatuh di hari depan,
cepatlah bangkit dan kembali bahagia. Jika tidak, semua perasaan dan doa yang
saya kirimkan setiap malam akan sia-sia.
Kadang itu yang menyakitkan. Saya tidak lagi punya hak untuk menghibur
kamu. Tidak lagi punya hak untuk kejutan kecil, atau sekedar membawa kamu ke
tengah hutan karena jenuh dengan kesibukkan kota. Tidak lagi bisa mengirimkan
kopi di pagi hari karena kamu sudah punya cangkir kopi mu sendiri. Tidak lagi
bisa memeluk kamu seusai kamu beradu mulut dengan orang lain karena urusan
pekerjaan, atau hanya sesimpel mengkotakkan makan siang untuk kamu nikmati di
saat beristirahat.
Kamu.... mungkin tidak ingat.
Karena yang ada di memori itu hanyalah koleksi pertengkaran kita yang
akhirnya membuat kamu menyerah. Sayang sekali. Padahal banyak daftar kenangan
manis yang sebenarnya bisa jadi alasan untuk kita bertahan.
Tapi, kamu serasional itu. Kamu menilai kita seluruhnya hanya dalam fase
hubungan yang sedang terguncang dalam waktu-waktu terakhir. Lalu melupakan apa
yang sudah dibangun di awal. Kita pernah saling mendengarkan. Kita pernah
saling bercerita. Kita paham satu sama lain. Segala perasaan meledak kita bukan
main-main. Tapi, kamu tidak ingat. Kamu menghakimi kita telah runtuh, lalu
jiwamu..... semudah itu melesat pergi.
Jangan pernah menyerah semudah itu jika kelak kamu menemukkan seseorang
dengan ruang yang tepat untuk jiwamu. Jangan ikut terguncang hanya karna
keadaan sedang terguncang. Fase itu terjadi dengan tiba-tiba. Tapi, jangan
mengorbankan cinta hanya untuk teori dan prediksi. Rasakan bahagianya. Bertahanlah
dalam badai itu sendiri.
Dan untuk saya yang sudah kehilangan kamu, saya pun sudah mengerti.
Saya tidak akan memaksa.
Sama seperti saya tidak akan menyapa sekarang.
Saya hanya menikmati kamu sepuas-puasnya karna saya yakin kamu tidak tau
saya ada di sini. Takdir rupanya dengan sengaja membawa saya ke tempat ini
untuk memandangi kamu. Hanya untuk memperhatikan punggung itu tanpa harus
berinteraksi lebih. Mungkin ini bentuk semesta memberitahukan saya bahwa kamu
baik-baik saja.
Nikmati kopi itu.
No comments:
Post a Comment