Sekumpulan bahasa pribadi.

Lalu bahasa hanyalah sekedar perantara.
Hati adalah sumber dari segalanya.
Tidak perlu dipahami, tapi butuh dirasakan.

Tuesday, 28 July 2015

Di Antara Sudut

Kamu. Dengan kopi hangat di dalam cangkir, berdiri di sana dengan begitu memukau. Saya hanya bisa memandangi punggung itu dan dalam hati menikmati setiap sentimeter lekukan tulang belakang. Saya hafal setengah mati postur tubuh itu, sayang sekali untuk menyentuhnya sekarang akan ada penolakkan besar-besaran dari hati dan logika. Kamu bukan lagi milik saya. Kamu hanya.... sekedar teman, yang kebetulan saya tau segalanya. Mulai dari makanan favorit sampai penyakit masa kecil. Layaknya daftar permanen yang sudah ditanam di otak tanpa sadar. Hebat bukan, bagaimana pikiran tetap bisa mengingat padahal hati sempat hancur luar biasa karena kamu. 

Namun, tenang saja. 
Ingatan hanyalah ingatan. 

Saya tidak berniat menyapa. Saya akan tetap terdiam di posisi saya berdiri sekarang untuk menikmati kamu dari belakang. Tidak lebih. 

Kamu untuk saya hanya ilusi. Raga yang ada di depan saya, bukan kamu yang saya mau. Jiwa itu sudah pergi jauh dan tidak akan kembali. 

Dan tidak apa-apa. 
Memang begitu adanya. 

Saya percaya bahwa jiwa akan selalu berkelana sampai bertemu ruang yang tepat. Dalam perjalanannya, anggap saja bahwa saya hanyalah persinggahan jiwa kamu. Kamu tidak seharusnya berada di sana lama-lama. Ruang itu tidak cocok untuk kamu, bukan? Saya pun mengerti dan tidak memaksa. 

Yang paling penting, kamu terlihat bahagia. Memandang kamu memandangi alam di sudut itu sesaat memberikan saya kehangatan walaupun tanpa secangkir kopi hangat. Melihat kamu menghirup udara sebanyak-banyaknya, membuat saya berharap semoga oksigen pagi ini juga berisi kumpulan perasaan positif. Biar kamu sudah penuh optimis lebih dahulu sebelum terkontaminasi dunia yang penuh kerusuhan. 

Tetaplah bahagia seperti pagi ini. Bila harus jatuh di hari depan, cepatlah bangkit dan kembali bahagia. Jika tidak, semua perasaan dan doa yang saya kirimkan setiap malam akan sia-sia. 

Kadang itu yang menyakitkan. Saya tidak lagi punya hak untuk menghibur kamu. Tidak lagi punya hak untuk kejutan kecil, atau sekedar membawa kamu ke tengah hutan karena jenuh dengan kesibukkan kota. Tidak lagi bisa mengirimkan kopi di pagi hari karena kamu sudah punya cangkir kopi mu sendiri. Tidak lagi bisa memeluk kamu seusai kamu beradu mulut dengan orang lain karena urusan pekerjaan, atau hanya sesimpel mengkotakkan makan siang untuk kamu nikmati di saat beristirahat.

Kamu.... mungkin tidak ingat.

Karena yang ada di memori itu hanyalah koleksi pertengkaran kita yang akhirnya membuat kamu menyerah. Sayang sekali. Padahal banyak daftar kenangan manis yang  sebenarnya bisa jadi alasan untuk kita bertahan. 

Tapi, kamu serasional itu. Kamu menilai kita seluruhnya hanya dalam fase hubungan yang sedang terguncang dalam waktu-waktu terakhir. Lalu melupakan apa yang sudah dibangun di awal. Kita pernah saling mendengarkan. Kita pernah saling bercerita. Kita paham satu sama lain. Segala perasaan meledak kita bukan main-main. Tapi, kamu tidak ingat. Kamu menghakimi kita telah runtuh, lalu jiwamu..... semudah itu melesat pergi. 

Jangan pernah menyerah semudah itu jika kelak kamu menemukkan seseorang dengan ruang yang tepat untuk jiwamu. Jangan ikut terguncang hanya karna keadaan sedang terguncang. Fase itu terjadi dengan tiba-tiba. Tapi, jangan mengorbankan cinta hanya untuk teori dan prediksi. Rasakan bahagianya. Bertahanlah dalam badai itu sendiri.

Dan untuk saya yang sudah kehilangan kamu, saya pun sudah mengerti.

Saya tidak akan memaksa.
Sama seperti saya tidak akan menyapa sekarang. 

Saya hanya menikmati kamu sepuas-puasnya karna saya yakin kamu tidak tau saya ada di sini. Takdir rupanya dengan sengaja membawa saya ke tempat ini untuk memandangi kamu. Hanya untuk memperhatikan punggung itu tanpa harus berinteraksi lebih. Mungkin ini bentuk semesta memberitahukan saya bahwa kamu baik-baik saja.




Nikmati kopi itu.


No comments: