Sekumpulan bahasa pribadi.

Lalu bahasa hanyalah sekedar perantara.
Hati adalah sumber dari segalanya.
Tidak perlu dipahami, tapi butuh dirasakan.

Saturday 19 September 2015

Yang Harusnya Didengar


















Apa yang saya rasakan entah disebut apa di dalam kamus bahasa.
Dalam hitungan detik, akhirnya darah di tubuh serasa mengalir saat kamu peluk saya.
Setelah sekian lama raga sekasta dengan manekin, sekarang semua arteri terasa ditegangkan lagi.

Hanya dengan satu sentuhan di pipi.
Dan pejaman mata saat tangan kamu merengkuh belakang punggung saya.
Jantung pun seperti kembali berdetak.
Bunyinya dapat didengar dengan telinga saja.

Dalam keheningan kita, jutaan neuron di otak berkolaborasi untuk membawa kenangan kamu ke cerebrum. Bagian otak yang paling bertanggung jawab untuk mengendalikan pikiran.
Segala kenangan di berbagai tempat dapat diingat sampai ke detail paling kecil.
Letak kerut di pipi atau lipatan kemeja kamu.

Lalu, logika pun memberontak.
Tidak terima jika perasaan diizinkan bertakhta lagi.
Namun, dimasukkanlah logika itu dalam ruangan tak berpintu.
Hanya berjendela, cukup untuknya sedikit berbisik. Tapi, itu pun tak terdengar.

Dan, hati membudakkan dirinya.
Lagi-lagi untuk cinta.

*

Kamu menggenggam tangan saya erat. Tidak menyisakan ruang untuk tangan itu bergeser pergi.
Kamu memandang saya begitu dalam dengan tatapan paling terluka.
Sebelah tanganmu mengelus pipi saya lembut.
"Kamu sudah bukan milik saya." Begitu ucap kamu.

Tentunya, kalimat seperti itu buat saya runtuh. Bingung harus menanggapi apa.

Karena sesungguhnya saya masih milik kamu. Hanya kamu yang tidak lagi mau memilikinya.

Maka, saya memilih terdiam. Bukan diam yang akan membuat kamu bertanya-tanya.

Saya tersenyum. Tidak tega untuk membuat kamu merasa salah keputusan.

"Saya rindu kamu." Kamu kembali mengulang kata-kata itu selama satu jam terakhir.

Menyebutkan kalimat itu dan tidak berhenti memelukki saya.
Bisa kamu bayangkan campur aduknya emosi yang mengalir bersama denyut nadi?

Karena saya juga merindukan kamu.

Dalam setiap pagi dan setiap malam. Dalam setiap sudut kota atau sekedar melihat bintang.
Namun, kamu yang memilih rindu itu menyakiti. Padahal selama ini bisa disalurkan langsung dengan pelukkan. Jika saja kamu tidak semudah itu menyerah atas kita dan putus asa.

Pertanyaannya, mengapa?

Mengapa kita menyiksa satu sama lain dengan merindukan satu sama lain?

Nyatanya, kita masih dapat diperbaiki. Hubungan itu tidak serusak yang kamu kira.

Coba duduk di sini dan bahas bersama. Sampai kita sepakat bahwa cinta tidak lagi cukup dan tidak lagi dapat melekatkan. 

"Saya lelah merapihkan kekacauan yang saya buat pada diri sendiri. Lagi dan lagi. Terulang terus." Kamu berkata lagi. Saya termenung lagi.

Masih mencoba memproses keadaan yang terjadi. Bingung atas tingkat kemanusiawian yang kamu punya. Penyiksaan jenis apa yang sedang kamu lakukan? 
Terhadap saya dan terhadap diri sendiri.

Coba lihat situasi ini lebih jeli.

Bukan hanya kekacauan kamu yang harusnya dirapihkan. Lihat dari sisi yang di sebelah sini.
Kamu pun juga merubuhkan saya. Begita banyak keping yang harus kembali disusun.
Namun, semuanya berserakkan dan bahkan hilang beberapa terbawa angin.

Saya adalah kekacauan yang paling sulit untuk kamu rapihi.

Dan, kamu sudah lelah lebih dulu merapihi kekacauanmu sendiri.
Meninggalkan saya tanpa bertanggung jawab.

Namun, bukan itu yang akan saya sampaikan pada kamu.


"Saya ada untuk kamu. Saya tidak kemana-mana. Dalam segala waktu, dalam segala kondisi. Biarkan saya ada di sini untuk kamu. Memeluk kamu atau semudah hanya menemani kamu. Karena itu adalah segala yang saya inginkan. Menjadi tempat kamu bersandar."

Itu yang saya janjikan dari hari pertama saya menjadi milik kamu. Tidak hilang hanya karena kamu terus-terusan menyakiti saya. Nyatanya, itu pembuktiannya bahwa saya masih ada di sini dalam segala kondisi.

......, namun kamu melepaskan genggaman tangan itu. Melangkah mundur perlahan.


"Cukup." Ucapmu pelan, tapi terdengar jelas. Bukan hanya karena suara yang mengalir dalam gelombang menuju telinga. Namun, karena hati ini masih bisa membaca ekspresi wajah kamu dari A sampai Z. 


Kamu tidak menginginkan saya di hidup kamu. 


Lagi-lagi kenyataan meremukkan saya. Namun, saya tidak menyalahkan kamu.

Sakit macam ini sudah saya duga memang tidak seharusnya selesai dulu.
Masih tersedia banyak waktu untuk menikmati sakitnya.
Dimakan kebingungan diri sendiri mencoba mengerti kamu dan pertimbangan kamu.

Mungkin memang kita berdua diharuskan tetap saling menyiksa?

Namun, saya pun lelah.
Tanpa memulai merapihkan kekacauan yang kamu buat di dalam diri, saya sudah menyerah untuk merasakan.

Saya selalu ada di sini. Namun, kamu menghapus saya.

Saya bukannya berjalan pergi. Saya menghilang secara seluruhnya.

Dengan tanda tanya yang masih berlabuh di atas kepala.


*

Rupanya hati dikenal bodoh untuk menjaga diri sendiri.
Sekarang saat hancur, dalam kemenangan logika pun merubuhkan tembok kurungannya.
Berkata dengan lantang bahwa dia yang harusnya menjadi penguasa.

Hati hanyalah alat untuk sesekali menonton film romantis atau mendengar lagu sendu.
Tidak lebih. Kurung saja dalam sel abu-abu tak berwarna.

Mungkin hidup memang seharusnya tidak terlalu menyakitkan.
Sesungguhnya bergantung pada hati membuat diri sendiri rentan.

Maka, matikan semua rasa.

Kamu bisa hidup hanya dengan bernafas. 

No comments: